Saat ini pariwisata merupakan komoditi yang paling marak dikembangkan dan menjadi trend dunia. Banyak negara di dunia ini, termasuk Indonesia, berlomba-lomba membangun dan mengembangkan pariwisata dalam upaya mendongkrak devisa yang bisa dihasilkan dari lahan yang terus berkembang secara global. Hal ini mengingat pariwisata telah berimplikasi kepada pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga setiap negara begitu masif menyediakan ruang yang seluas-luasnya bagi pembangunan dan pengembangan pariwisata.
Melihat pertumbuhan pariwisata yang terus meningkat dewasa ini bersamaan dengan peningkatan konsumsi komoditas wisata sebagian masyarakat di negara-negara maju dan masyarakat Indonesia. Sudah sewajarnya apabila pariwisata diposisikan sebagai sebuah industri terbesar ketiga (third biggest industry) di dunia setelah migas dan elektronik, yang mampu menjadi primadona penghasil devisa negara, bahkan salah satu organisasi pariwisata di dunia “World Tourism Organizations (WTO) ” mencatat pariwisata telah mampu menyumbangkan pendapatan lebih dari US$ 3,5 trilyun atau 6 % dari pendapatan kotor dunia . Selain itu juga, WTO memprediksikan pariwisata akan tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan 4,2 % per tahunnya selama 10 tahun ke depan (2000-2010) dan salah satu kawasan yang akan mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara asia, termasuk Indonesia . Lain halnya dengan “World Travel and Tourism Council (WTTC)” yang mengemukakan bahwa industri pariwisata telah menjelma menjadi “mega industri” dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 .
Sebagai industri tanpa cerobong asap (smokeless industry), pariwisata di Indonesia merupakan sektor strategis dan tidak akan pernah mengalami pasang surut sepanjang masa. Hal ini dikarenakan industri pariwisata terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan meningkatnya perjalanan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang hingga pada tahun 2007 tercatat mencapai 5.505.759 wisatawan dengan perolehan devisa negara sebesar 5.345,98 juta US$ .
Berangkat dari optimisme tersebut beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia sangat serius untuk mengembangkan sektor pariwisata, yang ditunjukkan dengan mengeluarkan dana yang besar guna membangun, memperbaiki dan mengembangkan berbagai macam infrastruktur di Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), bahkan pemerintah Indonesia saat ini telah merevisi perundang-undangan tentang kepariwisataan , ketentuan yang terkait dengan paspor dan devisa dan telah merencanakan dan mengimplementasikan berbagai program dalam rangka memberi stimulus kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi aktif demi perkembangan pariwisata di Indonesia . Keseriusan pemerintah Indonesia ini perlu diapresiasi yang setinggi-tingginya dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, dengan mengambil peran-peran strategis untuk mengembangkan pariwisata daerah, yakni dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda) mengenai pembangunan kawasan wisata dan usaha kepariwisataan, selain juga menyiapkan sarana akomodasi guna memperlancar aktivitas kepariwisataan tersebut serta sarana dan prasarana penunjang disediakan, baik hotel, money changer, art shop, kolam renang, jalan maupun transportasi.
Pariwisata: Pengertian Dasar dan Jenis-Jenisnya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pariwisata di Madura, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan makna pariwisata. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat kata “pariwisata” sering disalahtafsirkan oleh sebagian besar masyarakat kita, bahkan setiap kali muncul dan terdengar kata “pariwisata”, mereka seringkali menjustifikasi pariwisata maksiat . Padahal apabila kita menilik kembali maknanya, kata “pariwisata” memiliki makna yang sangat mulia dan tidak ada unsur maksiat di dalamnya sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat. Terlepas dalam prakteknya, pariwisata sering diidentikkan dengan perilaku maksiat (immoral behavior) dan tindakan yang amoral, itu semua adalah kesalahan manusianya semata dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan makna “pariwisata” secara konseptual. Karenanya, agar kita bisa memahami secara arif, dan tidak lagi salah dalam mengartikan makna kata “pariwisata”, perlu kiranya penulis memberikan penjelasan tentang makna tersebut.
Berbicara mengenai kata “pariwisata” tidak dapat dipisahkan dari makna kata “wisata” itu sendiri. Istilah “pariwisata” berasal dari bahasa Sansekerta dan terdiri dari tiga suku kata: 1) pari artinya penuh, lengkap, berkeliling, 2) wis artinya rumah, properti, kampung, komunitas, 3) ata artinya pergi terus-menerus, mengembara. Jadi, pariwisata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus-menerus . Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk bepergian atau melakukan perjalanan khusus bersenang-senang disebut rihlah. Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung dalam Al-QurĂ¡n sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas . Sedangkan Undang-Undang No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, memberikan definisi “wisata” adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara, dan “pariwisata” adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli , yakni Pertama, Wahab (1992) memandangnya sebagai suatu kegiatan kemanusiaan berupa hubungan antar orang baik dari negara yang sama atau antar negara atau hanya dari daerah geografis yang terbatas. Di dalamnya termasuk tinggal untuk sementara waktu di daerah lain atau negara atau benua lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan kecuali kegiatan untuk memperoleh penghasilan, meskipun pada perkembangan selanjutnya batasan “memperoleh penghasilan” menjadi kabur. Kedua, Schulaland (1910) mendefinisikan pariwisata adalah gabungan berbagai kegiatan – pada umumnya bidang ekonomi – yang langsung berkaitan dengan kedatangan, tinggal dan kegiatan pendatang di negara tertentu atau daerah tertentu. Ketiga, Kurt Morgenroth, pariwisata, dalam arti sempit, adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan, guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beraneka ragam dari pribadinya.
Berbagai definisi di atas menunjukkan adanya kesamaan yang dapat ditangkap, yakni meninggalkan tempat kediamannya sehari-hari pergi ke tempat lain untuk tinggal sementara waktu, dan bukan untuk mencari nafkah. Batasan waktu lebih tegas dinyatakan oleh McInctosh, Goeldner & Ritchie (1995) bahwa pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang ke/dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus-menerus, dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluan-keperluan lainnya . Segala ikhwal yang berkaitan dengan pariwisata ini hendaknya didasarkan pada norma-norma agama, kelestarian sumberdaya alam, budaya, serta memperhatikan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Secara garis besar alasan atau tujuan perjalanan pariwisata itu dapat dibedakan sebagai berikut :
(1). Business tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan dinas, usaha dagang atau yang berhubungan dengan pekerjaannya, kongres, seminar, convention, simposium, musyawarah kerja.
(2). Vacational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan perjalanan wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur, cuti atau pakansi.
(3). Educatitonal tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang melakukan perjalanan untuk tujuan studi atau mempelajari sesuatu bidang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya, pariwisata dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis :
(1). Cultural tourism, yaitu jenis pariwisata dimana motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik dari seni-budaya suatu tempat atau daerah, misalnya berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, seperti warisan nenek moyang, pusat kepurbakalaan, dan lain sebagainya.
(2). Recuperational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang melakukan perjalanan untuk menyembuhkan suatu penyakit, seperti mandi di sumber air panas, mandi lumpur, mandi kopi , dan lain sebagainya.
(3). Commercial tourism, yaitu pariwisata yang dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional atau internasional, seperti kegiatan EXPO, Fair, Exhibition, dan lain-lain.
(4). Sport tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu tempat atau negara tertentu, seperti Olympiade, All England, Pertandingan tinju atau sepak bola, dan lain-lain.
(5). Poltical tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan suatu negara, seperti Pemilu, pelantikan Presiden dan Kepala Negara, Raja, upacara kenegaraan, dan lain-lain.
(6). Social tourism, yaitu jenis pariwisata dimana penyelenggaraannya tidak mencari keuntungan, misalnya memberikan bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan ke suatu tempat atau masyarakat, dan lain-lain.
(8). Religious tourism, yaitu jenis pariwisata dimana tujuan perjalanan yang dilakukan untuk melihat dan menyaksikan upacara-upacara keagamaan, seperti umrah, haji, upacara agama Hindu Bali di Sekenan, Bali, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini di Indonesia cukup berkembang dan marak dilakukan oleh sebagian masyarakat yang disebut wisata ziarah. Wisata jenis ini pada dasarnya merupakan bagian dari wisata budaya atau religi, bahkan juga dipahami oleh beberapa kalangan wisata ini dapat meliputi aspek jasmani dan ruhani.
Madura: DTW Pasca Jembatan SURAMADU
Madura, pulau yang mempunyai wilayah mencapai tidak kurang dari 5.304 km², dengan panjang kurang lebih 190 km dan jarak terlebar sekitar 40 km, menyimpan banyak kekayaan dan potensi yang luar biasa. Madura dikenal dengan segudang predikat: sebagai pulau santri, pulau pesantren, dan pulau garam. Potensi-potensi wisatanya yang berupa alam, budaya, dan buatan manusia, menyebar di empat kabupaten, dan merupakan anugerah dari Tuhan YME yang perlu dijaga dan dipelihara, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan daya tarik wisata (tourist attraction and destination).
Keindahan, keunikan dan keaslian obyek dan daya tarik wisata di Madura yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dapat menjadi “magnet” bagi wisatawan untuk berkunjung ke Madura (Island of Salt). Ketertarikan wisatawan untuk berkunjung tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni a) benda-benda alam (natural amenities), yang meliputi: iklim (cuaca cerah, udara bersih, banyak sinar matahari, panas, hujan, dan lain-lain), pemandangan (pantai, pegunungan, perbukitan, hutan, sungai, dan lain-lain), fauna dan flora (tanaman aneh/unik, satwa langka, cagar alam, dan lain-lain), b) hasil ciptaan manusia (man-made supply) meliputi: benda-benda bersejarah (monumen/bangunan bersejarah, sisa-sisa peradaban manusia, dan lain-lain), kebudayaan (museum, kesenian rakyat, perpustakaan, dan lain-lain), keagamaan (rumah ibadah, candi, upacara keagamaan, dan lain-lain), c) tata cara kehidupan masyarakat, merupakan atraksi yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, seperti upacara nyadar, khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya .
Dalam konteks kepariwisataan, Madura dengan kondisi potensinya yang beragam sangatlah memungkinkan untuk dijadikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), karena daya tarik wisata di Madura adalah sesuatu yang dapat dilihat, misalnya pemandangan alam, peninggalan purbakala, pertunjukan; atau sesuatu yang dapat dilakukan, misalnya rekreasi, olahraga, meneliti; atau sesuatu yang dapat dibeli, misalnya barang-barang unik atau cenderamata; atau sesuatu yang dapat dinikmati, misalnya udara sejuk bebas pencemaran, pelayanan istimewa; atau sesuatu yang dapat dimakan, misalnya makanan atau minuman khas Madura.
Kekuatan obyek dan daya tarik tersebut dapat mendorong terjadinya kegiatan kepariwisataan, bahkan dianggap sebagai energi pariwisata (tourism energy), sekaligus pemicu dan pemacu utama minat kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara atau wisatawan nusantara, seperti pesantren dengan tradisi santri-santrinya, Kerapan Sapi, Pantai Lombang/Slopeng/Camplong, tempat-tempat ziarah (Syaikhona Kholil, Asta Tinggi, Asta Yusuf, dll), Gua (Payudan dan Koneng), kesenian (Lodruk, Hadrah, dll), dan sebagainya. Modal pariwisata Madura yang seperti inilah perlu kiranya terus dikembangkan dan dikelola secara professional, selain juga tersedianya akomodasi dan fasilitas-fasilitas penunjang bagi wisatawan yang berkunjung.
Melihat segala potensi yang ada di pulau Madura, sudah tidak hayal lagi apabila saat ini Madura perlu dideklarasikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), selain karena daya tarik wisatanya yang unik, khas, dan asli yang jarang ditemukan di daerah-daerah lain, juga didukung oleh rampungnya jembatan SURAMADU yang panjangnya sekitar 5.438 km. Jembatan terpanjang se-asia tenggara ini, selain menjadi obyek dan daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan, juga kemudahan aksesibilitas bagi kunjungan wisatawan, yang akan menjadikan Madura ke depan banyak dikunjungi wisatawan. Aksesibilitas dalam konteks Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan syarat yang terpenting sekali untuk objek wisata , bahkan sebagai prasyarat bagi keberlangsungan proses pariwisata. Peningkatan aksesibilitas berarti mempersingkat waktu dan dapat mengakibatkan jarak yang jauh seolah-olah lebih dekat.
Madura: Etalase Islamic Tourism di Era Global
Dalam perkembangannya, pertumbuhan ekonomi dan perubahan karakteristik psikografi dan demografis wisatawan di negara-negara asal menciptakan kelompok pasar dengan penghasilan tinggi dan harapan yang berbeda dalam melakukan perjalanan wisata. Apalagi perubahan ini didukung oleh atmosfir globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan telah membawa perubahan pada hampir semua sektor, termasuk sektor pariwisata. Perubahan yang sangat menjolok dalam dunia pariwisata, yakni pertama, kecenderungan adanya standardisasi dalam pengembangan produk dan pemasaran, dan yang kedua adalah kecenderungan demassifikasi atau fragmentasi pasar .
Pandangan ini menyiratkan adanya perubahan penting dalam dunia kepariwisataan dewasa ini, yakni terjadinya pergeseran orientasi dan preferensi pasar pada pemilihan produk wisata, dari orientasi produk wisata yang konvensional (berorientasi pada destinasi dan bentuk wisata rekreasional – pleasure/escaping), ke orientasi produk khusus dan spesifik yang lebih menekankan unsur pengalaman (experience), keunikan dan kualitas (quality travel), yang lebih dikenal dengan istilah wisata minat khusus (special interest tourism).
Dalam pergeseran orientasi pasar tersebut, wisatawan baru memiliki keinginan untuk dapat melakukan dan mengatur rencana perjalanannya sendiri, memperkaya kombinasi pengalaman dan aktifitas daripada hanya sekedar mengunjungi sebuah destinasi tertentu . Selain itu, perjalanan yang dilakukan tidak lagi hanya sekedar berada di lokasi tujuan wisata tetapi menginginkan untuk berinteraksi, berpartisipasi dan belajar dari apa yang dilihat di lokasi yang dikunjungi tersebut (Pearce, 1988) . Kemudian ditambahkan oleh Weiler dan Hall (1992) bahwa wisatawan dengan minat khusus pada umumnya memiliki latar belakang intelektual yang lebih baik, memiliki pemahaman dan kepekaan yang lebih terhadap etika, moralitas dan nilai-nilai tertentu. Wisatawan jenis ini melihat bahwa perjalanan wisata seharusnya merupakan perjalanan yang aktif, pencarian pengalaman dalam rangka pengembangan diri dan bukan lagi sebagai kegiatan liburan biasa (Weiler dan Hall, 1992).
Melihat fenomena pergeseran pasar wisatawan ini sekaligus menangkap peluang ke depannya, Madura dengan segala keanekaragaman obyek dan daya tarik wisatanya, yang identik dengan Islam , ditambah dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya yang agamis dengan didukung oleh berdirinya pesantren-pesantren di berbagai pelosok, merupakan aset besar yang perlu dikelola dan dikembangkan secara islami dalam bingkai program-program kepariwisataan. Kondisi Madura yang seperti ini berpotensi untuk dijadikan sebagai Etalase Islamic Tourism, bahkan berpeluang menjadi sebuah diversifikasi Daerah Tujuan Wisata (tourist destination) yang jarang sekali wisatawan temukan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan berkunjung, disamping Madura dapat menawarkan suasana baru dan memberikan kesan tersendiri di mata wisatawan.
Islamic Tourism dalam konteks ke-Madura-an sangatlah berperan sekali di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness) manusia (masyarakat dan wisatawan), bahkan mampu memberikan pemaknaan atas pariwisata sehingga tidak dipandang untuk mencari kesenangan dan kepuasaan jasmaniah semata, tetapi juga kesenangan dan kepuasan rohaniah (spiritual) yang menekankan pada ke-ESA-an Tuhan, misalnya berwisata ke pantai untuk menikmati ciptaan Tuhan (tidak lagi untuk berfoya-foya, seks, dan lain-lain) atau berwisata ziarah untuk mengingat Tuhan dan kematian. Hal ini penting untuk memposisikan pariwisata yang sebenarnya di tengah masyarakat Madura yang religius, biar interpretasi atas pariwisata tidak selalu bermuara kepada sesuatu yang menyimpang dari norma-norma agama dan haruslah disingkirkan, seperti pariwisata yang menganut ideologi kapitalis, yang dikenal dengan 4s, yakni sea, sun, sand, and sex (laut, matahari, pasir pantai, dan seks) .
Disamping itu juga, pengimplementasian Islamic Tourism ala Madura haruslah didukung oleh tradisi masyarakat Madura yang agamis, seperti sarungan dengan peci hitam/putih sebagai identitas masyarakat Madura, bahkan juga pemasangan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat strategis dengan desain yang menarik dan unik, seperti lafadz lailaha illallah, astaghfirullah, dan lain sebagainya. Nuansa dan kondisi yang seperti ini akan berdampak pada penyadaran keagamaan wisatawan dan masyarakat Madura, selain akan memberikan kesan tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Salah satu contoh apa yang terjadi di Bali, dimana ajaran-ajaran agama Hindu dielaborasi dengan budaya Bali sebagai identitas mereka, dan diperkenalkan kepada wisatawan sebagai syiar ajaran agama, bahkan tidak luput juga tarian-tarian Bali dan Pura-Pura sebagai simbol agama Hindu mudah ditemukan diberbagai sudut, yang sekaligus menjadi ciri khas pariwsata Bali. Dalam hal ini, Madura perlu kiranya mencontoh Bali atau dijadikan Bali ke dua dengan julukannya “Paradise Island” yang mampu mengangkat nilai-nilai keagamaan dalam bingkai kepariwsataan.
Islamic Tourism ala Madura merupakan pilihan yang tepat untuk arah pengembangan pariwisata Madura, meskipun pengembangannya akan mengalami berbagai kendala, termasuk salah satunya jumlah kunjungan wisatawan. Namun, hal yang demikian jangan menjadi sebuah paranoid bagi pemerintah daerah untuk terus melakukan promosi sebagai wujud komitmen pemerintah dalam pengembangan pariwisata Madura yang islami sekaligus sebagai wahana silaturrahmi dan saling mengenal antara satu dengan yang lainnya (to know each other), dengan tujuan merawat nilai-nilai khazanah agar tidak tercerabut dari hadirnya pariwsata yang bernuansakan kapitalis.
Dengan melihat persaingan global sekaligus memperhatikan kondisi masyarakat, Madura dapat memusatkan perhatian kepada pariwisata yang islami dan khusus. Inggris misalnya telah mengkhususkan diri kepada obyek warisan budaya dan obyek sejarah, sementara Swiss terkenal untuk wisata pegunungan, dan Thailand lebih kearah pengalaman eksotis. Oleh karena itu, dengan bermodalkan sumber daya yang ada di Madura dan menonjolkan keunikan daerah di dalam tautan dengan sistem ekonomi yang mendunia, suatu pengkhususan dan penglabelan perlu dilakukan agar Madura memiliki keunggulan dalam bersaing. Dan dalam hal ini, Madura sangatlah berpeluang untuk menjadi sesuatu yang berbeda dengan daerah-daerah lain, termasuk Bali, Lombok, Yogyakarta dan lain-lain.
Penutup
Untuk mewujudkan Madura sebagai Etalase Islamic Tourism bukanlah suatu hal yang mudah, dan membutuhkan proses yang sangat panjang, namun branding “Islamic Tourism” dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas sejak dini sebagai pencitraan untuk pariwisata khas Madura. Karenanya, pemerintah sebagai fasilitator sekaligus regulator secara aktif dapat melakukan kerjasama yang menguntungkan dengan pihak-pihak terkait dalam pengembangan dan promosi pariwisata Madura, dengan tidak mendiskriminasikan masyarakat sebagai unsur stakeholder yang memiliki peran penting untuk keberlangsungan kepariwisataan di Madura.
Akhirnya, dengan bahasan beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual tadi, tidak ada alasan bagi masyarakat Madura untuk bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai luhur agama tidak ada yang bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal, selagi kepariwisataan itu tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama (values of religion) dan tradisi masyarakat Madura, serta benar-benar berfungsi untuk kepentingan kesejahteraan lahiriah dan batiniah yang sehat.
Makalah ini disampaikan pada Pelatihan Pariwisata, diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Sumenep Madura, pada tanggal 21 Juni 2009 di Hotel Utami Sumenep, Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Kusworo, Hendrie. 2009. Pariwisata untuk Kesejahteraan: Meninjau Ulang Kebijakan Pembangunan. Makalah Seminar Bulanan. Tanggal 28 Mei 2009. Yogyakarta: PSKP UGM Yogyakarta.
Ahimsah Putra, dkk. 2000. Pengembangan Model Pariwisata Pedesaan sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Yogyakarta: LP Universitas Gadjah Mada.
Andang Subaharianto, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura. Malang: Bayumedia Publishing.
Fandeli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam: Yogyakarta: Fakultas Kehutanan-UGM.
Karim, Abd. 2008. Kapitalisasi Pariwisata dan Marginalisasi Masyarakat Lokal Lombok. Yogyakarta: Genta Press.
Nyoman S. Pendit. 2002. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Santoso, Oerip. 2000. Pariwisata Indonesia; Menghadapi Abad XXI. Bandung: Penerbit ITB.
Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata. Bandung: Mandar Maju.
Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata sebagai Systemic Linkage. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepariwisataan, nomor 9 tahun 1990 telah direvisi menjadi nomor 10 tahun 2009.
Yoeti, Oka A. 1988. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Warpani, Suwardjoko P dan Warpani, Indira P. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.
Weiler, Betty dan Hall, C.M. 1992. Special Interest Tourism. London: Belhaven Press.
Website:
Http://www.pamekasan.info. Diakses pada tanggal 14 Juni 2009 di Yogyakarta.
Http://www.chnpress.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2009 di perpustakaan Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM Yogyakarta.
Http://www.budpar.go.id. Diakses pada tanggal 03 Maret 2009 di Perpustakaan Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta.
Melihat pertumbuhan pariwisata yang terus meningkat dewasa ini bersamaan dengan peningkatan konsumsi komoditas wisata sebagian masyarakat di negara-negara maju dan masyarakat Indonesia. Sudah sewajarnya apabila pariwisata diposisikan sebagai sebuah industri terbesar ketiga (third biggest industry) di dunia setelah migas dan elektronik, yang mampu menjadi primadona penghasil devisa negara, bahkan salah satu organisasi pariwisata di dunia “World Tourism Organizations (WTO) ” mencatat pariwisata telah mampu menyumbangkan pendapatan lebih dari US$ 3,5 trilyun atau 6 % dari pendapatan kotor dunia . Selain itu juga, WTO memprediksikan pariwisata akan tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan 4,2 % per tahunnya selama 10 tahun ke depan (2000-2010) dan salah satu kawasan yang akan mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara asia, termasuk Indonesia . Lain halnya dengan “World Travel and Tourism Council (WTTC)” yang mengemukakan bahwa industri pariwisata telah menjelma menjadi “mega industri” dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 .
Sebagai industri tanpa cerobong asap (smokeless industry), pariwisata di Indonesia merupakan sektor strategis dan tidak akan pernah mengalami pasang surut sepanjang masa. Hal ini dikarenakan industri pariwisata terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan meningkatnya perjalanan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang hingga pada tahun 2007 tercatat mencapai 5.505.759 wisatawan dengan perolehan devisa negara sebesar 5.345,98 juta US$ .
Berangkat dari optimisme tersebut beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia sangat serius untuk mengembangkan sektor pariwisata, yang ditunjukkan dengan mengeluarkan dana yang besar guna membangun, memperbaiki dan mengembangkan berbagai macam infrastruktur di Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), bahkan pemerintah Indonesia saat ini telah merevisi perundang-undangan tentang kepariwisataan , ketentuan yang terkait dengan paspor dan devisa dan telah merencanakan dan mengimplementasikan berbagai program dalam rangka memberi stimulus kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi aktif demi perkembangan pariwisata di Indonesia . Keseriusan pemerintah Indonesia ini perlu diapresiasi yang setinggi-tingginya dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, dengan mengambil peran-peran strategis untuk mengembangkan pariwisata daerah, yakni dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda) mengenai pembangunan kawasan wisata dan usaha kepariwisataan, selain juga menyiapkan sarana akomodasi guna memperlancar aktivitas kepariwisataan tersebut serta sarana dan prasarana penunjang disediakan, baik hotel, money changer, art shop, kolam renang, jalan maupun transportasi.
Pariwisata: Pengertian Dasar dan Jenis-Jenisnya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pariwisata di Madura, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan makna pariwisata. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat kata “pariwisata” sering disalahtafsirkan oleh sebagian besar masyarakat kita, bahkan setiap kali muncul dan terdengar kata “pariwisata”, mereka seringkali menjustifikasi pariwisata maksiat . Padahal apabila kita menilik kembali maknanya, kata “pariwisata” memiliki makna yang sangat mulia dan tidak ada unsur maksiat di dalamnya sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat. Terlepas dalam prakteknya, pariwisata sering diidentikkan dengan perilaku maksiat (immoral behavior) dan tindakan yang amoral, itu semua adalah kesalahan manusianya semata dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan makna “pariwisata” secara konseptual. Karenanya, agar kita bisa memahami secara arif, dan tidak lagi salah dalam mengartikan makna kata “pariwisata”, perlu kiranya penulis memberikan penjelasan tentang makna tersebut.
Berbicara mengenai kata “pariwisata” tidak dapat dipisahkan dari makna kata “wisata” itu sendiri. Istilah “pariwisata” berasal dari bahasa Sansekerta dan terdiri dari tiga suku kata: 1) pari artinya penuh, lengkap, berkeliling, 2) wis artinya rumah, properti, kampung, komunitas, 3) ata artinya pergi terus-menerus, mengembara. Jadi, pariwisata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus-menerus . Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk bepergian atau melakukan perjalanan khusus bersenang-senang disebut rihlah. Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung dalam Al-QurĂ¡n sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas . Sedangkan Undang-Undang No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, memberikan definisi “wisata” adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara, dan “pariwisata” adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli , yakni Pertama, Wahab (1992) memandangnya sebagai suatu kegiatan kemanusiaan berupa hubungan antar orang baik dari negara yang sama atau antar negara atau hanya dari daerah geografis yang terbatas. Di dalamnya termasuk tinggal untuk sementara waktu di daerah lain atau negara atau benua lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan kecuali kegiatan untuk memperoleh penghasilan, meskipun pada perkembangan selanjutnya batasan “memperoleh penghasilan” menjadi kabur. Kedua, Schulaland (1910) mendefinisikan pariwisata adalah gabungan berbagai kegiatan – pada umumnya bidang ekonomi – yang langsung berkaitan dengan kedatangan, tinggal dan kegiatan pendatang di negara tertentu atau daerah tertentu. Ketiga, Kurt Morgenroth, pariwisata, dalam arti sempit, adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan, guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beraneka ragam dari pribadinya.
Berbagai definisi di atas menunjukkan adanya kesamaan yang dapat ditangkap, yakni meninggalkan tempat kediamannya sehari-hari pergi ke tempat lain untuk tinggal sementara waktu, dan bukan untuk mencari nafkah. Batasan waktu lebih tegas dinyatakan oleh McInctosh, Goeldner & Ritchie (1995) bahwa pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang ke/dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus-menerus, dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluan-keperluan lainnya . Segala ikhwal yang berkaitan dengan pariwisata ini hendaknya didasarkan pada norma-norma agama, kelestarian sumberdaya alam, budaya, serta memperhatikan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Secara garis besar alasan atau tujuan perjalanan pariwisata itu dapat dibedakan sebagai berikut :
(1). Business tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan dinas, usaha dagang atau yang berhubungan dengan pekerjaannya, kongres, seminar, convention, simposium, musyawarah kerja.
(2). Vacational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan perjalanan wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur, cuti atau pakansi.
(3). Educatitonal tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang melakukan perjalanan untuk tujuan studi atau mempelajari sesuatu bidang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya, pariwisata dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis :
(1). Cultural tourism, yaitu jenis pariwisata dimana motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik dari seni-budaya suatu tempat atau daerah, misalnya berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, seperti warisan nenek moyang, pusat kepurbakalaan, dan lain sebagainya.
(2). Recuperational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang melakukan perjalanan untuk menyembuhkan suatu penyakit, seperti mandi di sumber air panas, mandi lumpur, mandi kopi , dan lain sebagainya.
(3). Commercial tourism, yaitu pariwisata yang dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional atau internasional, seperti kegiatan EXPO, Fair, Exhibition, dan lain-lain.
(4). Sport tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu tempat atau negara tertentu, seperti Olympiade, All England, Pertandingan tinju atau sepak bola, dan lain-lain.
(5). Poltical tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan suatu negara, seperti Pemilu, pelantikan Presiden dan Kepala Negara, Raja, upacara kenegaraan, dan lain-lain.
(6). Social tourism, yaitu jenis pariwisata dimana penyelenggaraannya tidak mencari keuntungan, misalnya memberikan bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan ke suatu tempat atau masyarakat, dan lain-lain.
(8). Religious tourism, yaitu jenis pariwisata dimana tujuan perjalanan yang dilakukan untuk melihat dan menyaksikan upacara-upacara keagamaan, seperti umrah, haji, upacara agama Hindu Bali di Sekenan, Bali, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini di Indonesia cukup berkembang dan marak dilakukan oleh sebagian masyarakat yang disebut wisata ziarah. Wisata jenis ini pada dasarnya merupakan bagian dari wisata budaya atau religi, bahkan juga dipahami oleh beberapa kalangan wisata ini dapat meliputi aspek jasmani dan ruhani.
Madura: DTW Pasca Jembatan SURAMADU
Madura, pulau yang mempunyai wilayah mencapai tidak kurang dari 5.304 km², dengan panjang kurang lebih 190 km dan jarak terlebar sekitar 40 km, menyimpan banyak kekayaan dan potensi yang luar biasa. Madura dikenal dengan segudang predikat: sebagai pulau santri, pulau pesantren, dan pulau garam. Potensi-potensi wisatanya yang berupa alam, budaya, dan buatan manusia, menyebar di empat kabupaten, dan merupakan anugerah dari Tuhan YME yang perlu dijaga dan dipelihara, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan daya tarik wisata (tourist attraction and destination).
Keindahan, keunikan dan keaslian obyek dan daya tarik wisata di Madura yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dapat menjadi “magnet” bagi wisatawan untuk berkunjung ke Madura (Island of Salt). Ketertarikan wisatawan untuk berkunjung tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni a) benda-benda alam (natural amenities), yang meliputi: iklim (cuaca cerah, udara bersih, banyak sinar matahari, panas, hujan, dan lain-lain), pemandangan (pantai, pegunungan, perbukitan, hutan, sungai, dan lain-lain), fauna dan flora (tanaman aneh/unik, satwa langka, cagar alam, dan lain-lain), b) hasil ciptaan manusia (man-made supply) meliputi: benda-benda bersejarah (monumen/bangunan bersejarah, sisa-sisa peradaban manusia, dan lain-lain), kebudayaan (museum, kesenian rakyat, perpustakaan, dan lain-lain), keagamaan (rumah ibadah, candi, upacara keagamaan, dan lain-lain), c) tata cara kehidupan masyarakat, merupakan atraksi yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, seperti upacara nyadar, khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya .
Dalam konteks kepariwisataan, Madura dengan kondisi potensinya yang beragam sangatlah memungkinkan untuk dijadikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), karena daya tarik wisata di Madura adalah sesuatu yang dapat dilihat, misalnya pemandangan alam, peninggalan purbakala, pertunjukan; atau sesuatu yang dapat dilakukan, misalnya rekreasi, olahraga, meneliti; atau sesuatu yang dapat dibeli, misalnya barang-barang unik atau cenderamata; atau sesuatu yang dapat dinikmati, misalnya udara sejuk bebas pencemaran, pelayanan istimewa; atau sesuatu yang dapat dimakan, misalnya makanan atau minuman khas Madura.
Kekuatan obyek dan daya tarik tersebut dapat mendorong terjadinya kegiatan kepariwisataan, bahkan dianggap sebagai energi pariwisata (tourism energy), sekaligus pemicu dan pemacu utama minat kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara atau wisatawan nusantara, seperti pesantren dengan tradisi santri-santrinya, Kerapan Sapi, Pantai Lombang/Slopeng/Camplong, tempat-tempat ziarah (Syaikhona Kholil, Asta Tinggi, Asta Yusuf, dll), Gua (Payudan dan Koneng), kesenian (Lodruk, Hadrah, dll), dan sebagainya. Modal pariwisata Madura yang seperti inilah perlu kiranya terus dikembangkan dan dikelola secara professional, selain juga tersedianya akomodasi dan fasilitas-fasilitas penunjang bagi wisatawan yang berkunjung.
Melihat segala potensi yang ada di pulau Madura, sudah tidak hayal lagi apabila saat ini Madura perlu dideklarasikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), selain karena daya tarik wisatanya yang unik, khas, dan asli yang jarang ditemukan di daerah-daerah lain, juga didukung oleh rampungnya jembatan SURAMADU yang panjangnya sekitar 5.438 km. Jembatan terpanjang se-asia tenggara ini, selain menjadi obyek dan daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan, juga kemudahan aksesibilitas bagi kunjungan wisatawan, yang akan menjadikan Madura ke depan banyak dikunjungi wisatawan. Aksesibilitas dalam konteks Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan syarat yang terpenting sekali untuk objek wisata , bahkan sebagai prasyarat bagi keberlangsungan proses pariwisata. Peningkatan aksesibilitas berarti mempersingkat waktu dan dapat mengakibatkan jarak yang jauh seolah-olah lebih dekat.
Madura: Etalase Islamic Tourism di Era Global
Dalam perkembangannya, pertumbuhan ekonomi dan perubahan karakteristik psikografi dan demografis wisatawan di negara-negara asal menciptakan kelompok pasar dengan penghasilan tinggi dan harapan yang berbeda dalam melakukan perjalanan wisata. Apalagi perubahan ini didukung oleh atmosfir globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan telah membawa perubahan pada hampir semua sektor, termasuk sektor pariwisata. Perubahan yang sangat menjolok dalam dunia pariwisata, yakni pertama, kecenderungan adanya standardisasi dalam pengembangan produk dan pemasaran, dan yang kedua adalah kecenderungan demassifikasi atau fragmentasi pasar .
Pandangan ini menyiratkan adanya perubahan penting dalam dunia kepariwisataan dewasa ini, yakni terjadinya pergeseran orientasi dan preferensi pasar pada pemilihan produk wisata, dari orientasi produk wisata yang konvensional (berorientasi pada destinasi dan bentuk wisata rekreasional – pleasure/escaping), ke orientasi produk khusus dan spesifik yang lebih menekankan unsur pengalaman (experience), keunikan dan kualitas (quality travel), yang lebih dikenal dengan istilah wisata minat khusus (special interest tourism).
Dalam pergeseran orientasi pasar tersebut, wisatawan baru memiliki keinginan untuk dapat melakukan dan mengatur rencana perjalanannya sendiri, memperkaya kombinasi pengalaman dan aktifitas daripada hanya sekedar mengunjungi sebuah destinasi tertentu . Selain itu, perjalanan yang dilakukan tidak lagi hanya sekedar berada di lokasi tujuan wisata tetapi menginginkan untuk berinteraksi, berpartisipasi dan belajar dari apa yang dilihat di lokasi yang dikunjungi tersebut (Pearce, 1988) . Kemudian ditambahkan oleh Weiler dan Hall (1992) bahwa wisatawan dengan minat khusus pada umumnya memiliki latar belakang intelektual yang lebih baik, memiliki pemahaman dan kepekaan yang lebih terhadap etika, moralitas dan nilai-nilai tertentu. Wisatawan jenis ini melihat bahwa perjalanan wisata seharusnya merupakan perjalanan yang aktif, pencarian pengalaman dalam rangka pengembangan diri dan bukan lagi sebagai kegiatan liburan biasa (Weiler dan Hall, 1992).
Melihat fenomena pergeseran pasar wisatawan ini sekaligus menangkap peluang ke depannya, Madura dengan segala keanekaragaman obyek dan daya tarik wisatanya, yang identik dengan Islam , ditambah dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya yang agamis dengan didukung oleh berdirinya pesantren-pesantren di berbagai pelosok, merupakan aset besar yang perlu dikelola dan dikembangkan secara islami dalam bingkai program-program kepariwisataan. Kondisi Madura yang seperti ini berpotensi untuk dijadikan sebagai Etalase Islamic Tourism, bahkan berpeluang menjadi sebuah diversifikasi Daerah Tujuan Wisata (tourist destination) yang jarang sekali wisatawan temukan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan berkunjung, disamping Madura dapat menawarkan suasana baru dan memberikan kesan tersendiri di mata wisatawan.
Islamic Tourism dalam konteks ke-Madura-an sangatlah berperan sekali di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness) manusia (masyarakat dan wisatawan), bahkan mampu memberikan pemaknaan atas pariwisata sehingga tidak dipandang untuk mencari kesenangan dan kepuasaan jasmaniah semata, tetapi juga kesenangan dan kepuasan rohaniah (spiritual) yang menekankan pada ke-ESA-an Tuhan, misalnya berwisata ke pantai untuk menikmati ciptaan Tuhan (tidak lagi untuk berfoya-foya, seks, dan lain-lain) atau berwisata ziarah untuk mengingat Tuhan dan kematian. Hal ini penting untuk memposisikan pariwisata yang sebenarnya di tengah masyarakat Madura yang religius, biar interpretasi atas pariwisata tidak selalu bermuara kepada sesuatu yang menyimpang dari norma-norma agama dan haruslah disingkirkan, seperti pariwisata yang menganut ideologi kapitalis, yang dikenal dengan 4s, yakni sea, sun, sand, and sex (laut, matahari, pasir pantai, dan seks) .
Disamping itu juga, pengimplementasian Islamic Tourism ala Madura haruslah didukung oleh tradisi masyarakat Madura yang agamis, seperti sarungan dengan peci hitam/putih sebagai identitas masyarakat Madura, bahkan juga pemasangan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat strategis dengan desain yang menarik dan unik, seperti lafadz lailaha illallah, astaghfirullah, dan lain sebagainya. Nuansa dan kondisi yang seperti ini akan berdampak pada penyadaran keagamaan wisatawan dan masyarakat Madura, selain akan memberikan kesan tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Salah satu contoh apa yang terjadi di Bali, dimana ajaran-ajaran agama Hindu dielaborasi dengan budaya Bali sebagai identitas mereka, dan diperkenalkan kepada wisatawan sebagai syiar ajaran agama, bahkan tidak luput juga tarian-tarian Bali dan Pura-Pura sebagai simbol agama Hindu mudah ditemukan diberbagai sudut, yang sekaligus menjadi ciri khas pariwsata Bali. Dalam hal ini, Madura perlu kiranya mencontoh Bali atau dijadikan Bali ke dua dengan julukannya “Paradise Island” yang mampu mengangkat nilai-nilai keagamaan dalam bingkai kepariwsataan.
Islamic Tourism ala Madura merupakan pilihan yang tepat untuk arah pengembangan pariwisata Madura, meskipun pengembangannya akan mengalami berbagai kendala, termasuk salah satunya jumlah kunjungan wisatawan. Namun, hal yang demikian jangan menjadi sebuah paranoid bagi pemerintah daerah untuk terus melakukan promosi sebagai wujud komitmen pemerintah dalam pengembangan pariwisata Madura yang islami sekaligus sebagai wahana silaturrahmi dan saling mengenal antara satu dengan yang lainnya (to know each other), dengan tujuan merawat nilai-nilai khazanah agar tidak tercerabut dari hadirnya pariwsata yang bernuansakan kapitalis.
Dengan melihat persaingan global sekaligus memperhatikan kondisi masyarakat, Madura dapat memusatkan perhatian kepada pariwisata yang islami dan khusus. Inggris misalnya telah mengkhususkan diri kepada obyek warisan budaya dan obyek sejarah, sementara Swiss terkenal untuk wisata pegunungan, dan Thailand lebih kearah pengalaman eksotis. Oleh karena itu, dengan bermodalkan sumber daya yang ada di Madura dan menonjolkan keunikan daerah di dalam tautan dengan sistem ekonomi yang mendunia, suatu pengkhususan dan penglabelan perlu dilakukan agar Madura memiliki keunggulan dalam bersaing. Dan dalam hal ini, Madura sangatlah berpeluang untuk menjadi sesuatu yang berbeda dengan daerah-daerah lain, termasuk Bali, Lombok, Yogyakarta dan lain-lain.
Penutup
Untuk mewujudkan Madura sebagai Etalase Islamic Tourism bukanlah suatu hal yang mudah, dan membutuhkan proses yang sangat panjang, namun branding “Islamic Tourism” dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas sejak dini sebagai pencitraan untuk pariwisata khas Madura. Karenanya, pemerintah sebagai fasilitator sekaligus regulator secara aktif dapat melakukan kerjasama yang menguntungkan dengan pihak-pihak terkait dalam pengembangan dan promosi pariwisata Madura, dengan tidak mendiskriminasikan masyarakat sebagai unsur stakeholder yang memiliki peran penting untuk keberlangsungan kepariwisataan di Madura.
Akhirnya, dengan bahasan beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual tadi, tidak ada alasan bagi masyarakat Madura untuk bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai luhur agama tidak ada yang bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal, selagi kepariwisataan itu tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama (values of religion) dan tradisi masyarakat Madura, serta benar-benar berfungsi untuk kepentingan kesejahteraan lahiriah dan batiniah yang sehat.
Makalah ini disampaikan pada Pelatihan Pariwisata, diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Sumenep Madura, pada tanggal 21 Juni 2009 di Hotel Utami Sumenep, Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Kusworo, Hendrie. 2009. Pariwisata untuk Kesejahteraan: Meninjau Ulang Kebijakan Pembangunan. Makalah Seminar Bulanan. Tanggal 28 Mei 2009. Yogyakarta: PSKP UGM Yogyakarta.
Ahimsah Putra, dkk. 2000. Pengembangan Model Pariwisata Pedesaan sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Yogyakarta: LP Universitas Gadjah Mada.
Andang Subaharianto, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura. Malang: Bayumedia Publishing.
Fandeli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam: Yogyakarta: Fakultas Kehutanan-UGM.
Karim, Abd. 2008. Kapitalisasi Pariwisata dan Marginalisasi Masyarakat Lokal Lombok. Yogyakarta: Genta Press.
Nyoman S. Pendit. 2002. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Santoso, Oerip. 2000. Pariwisata Indonesia; Menghadapi Abad XXI. Bandung: Penerbit ITB.
Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata. Bandung: Mandar Maju.
Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata sebagai Systemic Linkage. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepariwisataan, nomor 9 tahun 1990 telah direvisi menjadi nomor 10 tahun 2009.
Yoeti, Oka A. 1988. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Warpani, Suwardjoko P dan Warpani, Indira P. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.
Weiler, Betty dan Hall, C.M. 1992. Special Interest Tourism. London: Belhaven Press.
Website:
Http://www.pamekasan.info. Diakses pada tanggal 14 Juni 2009 di Yogyakarta.
Http://www.chnpress.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2009 di perpustakaan Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM Yogyakarta.
Http://www.budpar.go.id. Diakses pada tanggal 03 Maret 2009 di Perpustakaan Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta.
3 komentar:
mas....saya mendukung konsepmu. Semoga PEMDA meng ACC.
bagaimana aplikasi dalam mewujudkan itu?
Daya tarik apa yang kuat?
kalau hanya mengandalkan ke islamannya saja apa tidak akan bersaing dgn daerah lain yang juga mayoritasnya islam?
Bagaimana dengan karapan sapi? bukankah itu juga daya tarik?
Mas Faid, saya senang membaca tulisan ini, keep writing. Perkaya konsep dan implementasi "double track tourism". Insyaa Allah Madura akan memperoleh manfaat dunia akhirat dari pengembangan pariwisata. Salam dari Groningen.
Adji
Posting Komentar