Minggu, 15 Maret 2009

MENIMBANG PROSPEK DESA WISATA

Pada dasawarsa terakhir, dunia pariwisata mengalami pertumbuhan yang terus meningkat pesat. Tempat-tempat yang berpotensi mengundang banyak kunjungan wisatawan dibangun di sana sini dan didesain sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan hasrat manusia modern. Kondisi ini dibarengi dengan peningkatan konsumsi komoditas wisatawan dan kemajuan di bidang tekhnologi, terutama transportasi dan informasi, yang mendorong perkembangan kepariwisataan menjadi fenomena global. Bahkan banyak negara di dunia mengandalkan kemajuan pembangunan nasional pada sektor pariwisata, termasuk Indonesia.

Fenomena ini tentu sangat berimplikasi terhadap adanya pergeseran orientasi dan preferensi pasar pada pemilihan produk wisata. Promosi produk wisata semakin mudah ditemukan dengan nuansa baru dan desain the newest yang terus berkompetisi demi memberikan ruang kenyamanan bagi wahana rehat. Akhirnya produk wisata konvensional saat ini mulai banyak ditinggalkan dan beralih kepada produk wisata yang mempunyai nuansa khas yang mengedepankan unsur pengalaman dan profesionalitas, keunikan dan kualitas (uniqueness and quality) servis.

Pandangan ini mampu mendorong menjamurnya desa-desa wisata (tourism village) di berbagai provinsi di Indonesia. Tourism village sebagaimana dikemukan oleh Nuryanti (1993:2-3) adalah suatu bentuk integritas antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata memliki dua komponen utama: pertama akomodasi, yaitu sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk. Kedua atraksi, yaitu seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, dan bahasa.

Animo wisatawan untuk berkunjung ke objek wisata jenis ini semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bukanlah suatu yang mustahil apabila pemerintah yang dalam hal ini Departemen kebudayaayan dan Pariwisata pada tahun 2009 harus cepat tanggap mengembangkan desa wisata di berbagai propinsi di tanah air. Pengembangan desa wisata ini sebagai bagian dari upaya membangun komunitas pariwisata yang berbasis pada masyarakat (community based tourism).

DI Yogyakarta sebagai destinasi yang cukup popular nampaknya juga tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan moment potensial ini. Terbukti, dalam empat tahun terakhir, makin banyak desa wisata yang tumbuh berkembang di DIY dengan konsep yang sangat bervariasi, tergantung pada potensi yang dimilikinya. Bahkan sampai saat ini telah tercatat kurang lebih 48 desa wisata yang tersebar di wilayah DIY, seperti: Desa Wisata Kembang Arum (Sleman), Desa Wisata Banjarsari (Kulon Progo), Desa Wisata Panjangrejo (Bantul), dan lain-lain. Selain jumlahnya terus meningkat, variasi potensi desa yang memenuhi kreteria asli lokal, unik dan indah sebagai desa wisata pun makin beragam. Selain itu, faktor pendukungnya, yakni desa harus memiliki tradisi dan budaya yang relatif asli, makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting bagi desa sebagai sebuah kawasan tujuan wisata.

Nilai Manfaat

Berkembangnya wisata minat khusus (special interest tourism) sebagai bentuk peralihan dari wisata massal (mass tourism) memberikan peluang besar bagi desa wisata. Perkembangan desa wisata yang terus mengalami peningkatan ini sebagai akibat dari tuntutan pasar wisatawan sekaligus potensi-potensi yang dimiliki. Sudah tidak dapat disangkal lagi, apabila desa wisata akan semakin berkembang. Karena suasana desa mampu menawarkan nuansa yang berbeda, sunyi dan damai, ditambah dengan berleburnya wisatawan dengan masyarakat sekitar dengan segala aktivitasnya. Hal ini akan memberikan nilai manfaat yang berupa pengetahuan dan pengalaman baru. Pengalaman yang berkualitas akan diperoleh melalui keterlibatan aktif wisatawan baik secara fisik, mental atau emosional terhadap objek-objek atau kegiatan wisata yang diikutinya.

Melihat nilai-nilai potensial pada desa wisata ini, mau tidak mau, akan mendorong minat dan motivasi wisatawan untuk berkunjung. Selain itu, desa wisata saat ini berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditas apalagi ditunjang dengan meningkatnya gairah wisatawan asing yang terus menyerbu tempat-tempat pariwisata kita, dimana kebutuhan dalam melakukan perjalanan wisata merupakan kegiatan yang penting untuk menghilangkan kejenuhan dan mencari kesenangan. Fenomena di atas didukung oleh ramalan World Tourism Organization (WTO) yang mengatakan jumlah kunjungan wisatawan global akan meningkat menjadi 1.018 juta orang dengan perolehan devisa sebesar US$ 3,4 triliun, investasi pariwisata dunia sebesar 10,7 persen permodalan pada tahun 2010 nanti.

Prospek desa wisata yang mulai menjamur khususnya di Yogyakarta akan memberikan penambahan devisa yang potensial bagi pendapatan daerah. Di samping itu, pengenalan tradisi lokal akan menjadi prioritas yang harus dipersiapkan oleh pemerintah ataupun pihak-pihak yang kompeten dalam mendukung proyek yang mempunyai masa depan bisnis yang cerah ini. Karena sudah jelas, daerah tujuan wisata unggulan (tourism destination) yang kerap menjadi pilihan para wisatawan dewasa ini, tidak bisa dilepaskan dengan potensi alam dengan kekhasan tradisi di daerah masing-masing. Dalam konteks ini, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota warisan budaya akan menjadi salah satu tempat favorit bagi para wisatawan baik lokal ataupun manca dalam menghabiskan waktu senggang.

Di samping itu, kesiapan pihak-pihak pengelola dan masyarakat setempat, sebagai komponen utama yang menjadi objek wisata, harus benar-benar diperhatikan. Karena tanpa adanya kesiapan dari pihak-pihak yang terlibat dalam ‘proyek’ ini, masa depan desa wisata justru akan menjadi boomerang bagi penduduk setempat. Sikap waspada semacam ini perlu ditumbuhkan sebelum cengkraman eksploitasi pasar (pariwisata), yang akhirnya bermuara kepada kepentingan komoditas semata, menjadi jalan pragmatis yang dilalui demi melego tradisi dan potensi lokal menjadi profit.