Rabu, 22 Juli 2009

MENGGAGAS PARIWISATA KHAS MADURA DALAM KOMPETISI GLOBAL

Saat ini pariwisata merupakan komoditi yang paling marak dikembangkan dan menjadi trend dunia. Banyak negara di dunia ini, termasuk Indonesia, berlomba-lomba membangun dan mengembangkan pariwisata dalam upaya mendongkrak devisa yang bisa dihasilkan dari lahan yang terus berkembang secara global. Hal ini mengingat pariwisata telah berimplikasi kepada pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga setiap negara begitu masif menyediakan ruang yang seluas-luasnya bagi pembangunan dan pengembangan pariwisata.
Melihat pertumbuhan pariwisata yang terus meningkat dewasa ini bersamaan dengan peningkatan konsumsi komoditas wisata sebagian masyarakat di negara-negara maju dan masyarakat Indonesia. Sudah sewajarnya apabila pariwisata diposisikan sebagai sebuah industri terbesar ketiga (third biggest industry) di dunia setelah migas dan elektronik, yang mampu menjadi primadona penghasil devisa negara, bahkan salah satu organisasi pariwisata di dunia “World Tourism Organizations (WTO) ” mencatat pariwisata telah mampu menyumbangkan pendapatan lebih dari US$ 3,5 trilyun atau 6 % dari pendapatan kotor dunia . Selain itu juga, WTO memprediksikan pariwisata akan tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan 4,2 % per tahunnya selama 10 tahun ke depan (2000-2010) dan salah satu kawasan yang akan mengalami tingkat pertumbuhan terbesar adalah negara-negara asia, termasuk Indonesia . Lain halnya dengan “World Travel and Tourism Council (WTTC)” yang mengemukakan bahwa industri pariwisata telah menjelma menjadi “mega industri” dan diperkirakan akan menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 .
Sebagai industri tanpa cerobong asap (smokeless industry), pariwisata di Indonesia merupakan sektor strategis dan tidak akan pernah mengalami pasang surut sepanjang masa. Hal ini dikarenakan industri pariwisata terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan seiring dengan meningkatnya perjalanan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang hingga pada tahun 2007 tercatat mencapai 5.505.759 wisatawan dengan perolehan devisa negara sebesar 5.345,98 juta US$ .
Berangkat dari optimisme tersebut beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia sangat serius untuk mengembangkan sektor pariwisata, yang ditunjukkan dengan mengeluarkan dana yang besar guna membangun, memperbaiki dan mengembangkan berbagai macam infrastruktur di Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), bahkan pemerintah Indonesia saat ini telah merevisi perundang-undangan tentang kepariwisataan , ketentuan yang terkait dengan paspor dan devisa dan telah merencanakan dan mengimplementasikan berbagai program dalam rangka memberi stimulus kepada berbagai kalangan untuk berpartisipasi aktif demi perkembangan pariwisata di Indonesia . Keseriusan pemerintah Indonesia ini perlu diapresiasi yang setinggi-tingginya dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, dengan mengambil peran-peran strategis untuk mengembangkan pariwisata daerah, yakni dengan mengeluarkan peraturan daerah (perda) mengenai pembangunan kawasan wisata dan usaha kepariwisataan, selain juga menyiapkan sarana akomodasi guna memperlancar aktivitas kepariwisataan tersebut serta sarana dan prasarana penunjang disediakan, baik hotel, money changer, art shop, kolam renang, jalan maupun transportasi.

Pariwisata: Pengertian Dasar dan Jenis-Jenisnya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pariwisata di Madura, terlebih dahulu penulis ingin menjelaskan makna pariwisata. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat kata “pariwisata” sering disalahtafsirkan oleh sebagian besar masyarakat kita, bahkan setiap kali muncul dan terdengar kata “pariwisata”, mereka seringkali menjustifikasi pariwisata maksiat . Padahal apabila kita menilik kembali maknanya, kata “pariwisata” memiliki makna yang sangat mulia dan tidak ada unsur maksiat di dalamnya sebagaimana yang dipahami oleh sebagian masyarakat. Terlepas dalam prakteknya, pariwisata sering diidentikkan dengan perilaku maksiat (immoral behavior) dan tindakan yang amoral, itu semua adalah kesalahan manusianya semata dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan makna “pariwisata” secara konseptual. Karenanya, agar kita bisa memahami secara arif, dan tidak lagi salah dalam mengartikan makna kata “pariwisata”, perlu kiranya penulis memberikan penjelasan tentang makna tersebut.
Berbicara mengenai kata “pariwisata” tidak dapat dipisahkan dari makna kata “wisata” itu sendiri. Istilah “pariwisata” berasal dari bahasa Sansekerta dan terdiri dari tiga suku kata: 1) pari artinya penuh, lengkap, berkeliling, 2) wis artinya rumah, properti, kampung, komunitas, 3) ata artinya pergi terus-menerus, mengembara. Jadi, pariwisata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus-menerus . Di dalam bahasa Arab, kosa kata untuk bepergian atau melakukan perjalanan khusus bersenang-senang disebut rihlah. Berbeda dengan safara yang berarti bepergian untuk tujuan yang lebih umum. Kata rihlah ini juga telah disinggung dalam Al-QurĂ¡n sebagai lambang rutinitas orang Quraisy yang biasanya melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas . Sedangkan Undang-Undang No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, memberikan definisi “wisata” adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara, dan “pariwisata” adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli , yakni Pertama, Wahab (1992) memandangnya sebagai suatu kegiatan kemanusiaan berupa hubungan antar orang baik dari negara yang sama atau antar negara atau hanya dari daerah geografis yang terbatas. Di dalamnya termasuk tinggal untuk sementara waktu di daerah lain atau negara atau benua lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan kecuali kegiatan untuk memperoleh penghasilan, meskipun pada perkembangan selanjutnya batasan “memperoleh penghasilan” menjadi kabur. Kedua, Schulaland (1910) mendefinisikan pariwisata adalah gabungan berbagai kegiatan – pada umumnya bidang ekonomi – yang langsung berkaitan dengan kedatangan, tinggal dan kegiatan pendatang di negara tertentu atau daerah tertentu. Ketiga, Kurt Morgenroth, pariwisata, dalam arti sempit, adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan, guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beraneka ragam dari pribadinya.
Berbagai definisi di atas menunjukkan adanya kesamaan yang dapat ditangkap, yakni meninggalkan tempat kediamannya sehari-hari pergi ke tempat lain untuk tinggal sementara waktu, dan bukan untuk mencari nafkah. Batasan waktu lebih tegas dinyatakan oleh McInctosh, Goeldner & Ritchie (1995) bahwa pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang ke/dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus-menerus, dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluan-keperluan lainnya . Segala ikhwal yang berkaitan dengan pariwisata ini hendaknya didasarkan pada norma-norma agama, kelestarian sumberdaya alam, budaya, serta memperhatikan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Secara garis besar alasan atau tujuan perjalanan pariwisata itu dapat dibedakan sebagai berikut :
(1). Business tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjungnya datang untuk tujuan dinas, usaha dagang atau yang berhubungan dengan pekerjaannya, kongres, seminar, convention, simposium, musyawarah kerja.
(2). Vacational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang yang melakukan perjalanan wisata terdiri dari orang-orang yang sedang berlibur, cuti atau pakansi.
(3). Educatitonal tourism, yaitu jenis pariwisata dimana pengunjung atau orang melakukan perjalanan untuk tujuan studi atau mempelajari sesuatu bidang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya, pariwisata dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis :
(1). Cultural tourism, yaitu jenis pariwisata dimana motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan disebabkan karena adanya daya tarik dari seni-budaya suatu tempat atau daerah, misalnya berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, seperti warisan nenek moyang, pusat kepurbakalaan, dan lain sebagainya.
(2). Recuperational tourism, yaitu jenis pariwisata dimana orang-orang melakukan perjalanan untuk menyembuhkan suatu penyakit, seperti mandi di sumber air panas, mandi lumpur, mandi kopi , dan lain sebagainya.
(3). Commercial tourism, yaitu pariwisata yang dikaitkan dengan kegiatan perdagangan nasional atau internasional, seperti kegiatan EXPO, Fair, Exhibition, dan lain-lain.
(4). Sport tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu pesta olah raga di suatu tempat atau negara tertentu, seperti Olympiade, All England, Pertandingan tinju atau sepak bola, dan lain-lain.
(5). Poltical tourism, yaitu jenis pariwisata yang bertujuan untuk melihat atau menyaksikan suatu peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan kegiatan suatu negara, seperti Pemilu, pelantikan Presiden dan Kepala Negara, Raja, upacara kenegaraan, dan lain-lain.
(6). Social tourism, yaitu jenis pariwisata dimana penyelenggaraannya tidak mencari keuntungan, misalnya memberikan bantuan pangan, pakaian dan obat-obatan ke suatu tempat atau masyarakat, dan lain-lain.
(8). Religious tourism, yaitu jenis pariwisata dimana tujuan perjalanan yang dilakukan untuk melihat dan menyaksikan upacara-upacara keagamaan, seperti umrah, haji, upacara agama Hindu Bali di Sekenan, Bali, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini di Indonesia cukup berkembang dan marak dilakukan oleh sebagian masyarakat yang disebut wisata ziarah. Wisata jenis ini pada dasarnya merupakan bagian dari wisata budaya atau religi, bahkan juga dipahami oleh beberapa kalangan wisata ini dapat meliputi aspek jasmani dan ruhani.

Madura: DTW Pasca Jembatan SURAMADU
Madura, pulau yang mempunyai wilayah mencapai tidak kurang dari 5.304 km², dengan panjang kurang lebih 190 km dan jarak terlebar sekitar 40 km, menyimpan banyak kekayaan dan potensi yang luar biasa. Madura dikenal dengan segudang predikat: sebagai pulau santri, pulau pesantren, dan pulau garam. Potensi-potensi wisatanya yang berupa alam, budaya, dan buatan manusia, menyebar di empat kabupaten, dan merupakan anugerah dari Tuhan YME yang perlu dijaga dan dipelihara, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai obyek dan daya tarik wisata (tourist attraction and destination).
Keindahan, keunikan dan keaslian obyek dan daya tarik wisata di Madura yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dapat menjadi “magnet” bagi wisatawan untuk berkunjung ke Madura (Island of Salt). Ketertarikan wisatawan untuk berkunjung tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni a) benda-benda alam (natural amenities), yang meliputi: iklim (cuaca cerah, udara bersih, banyak sinar matahari, panas, hujan, dan lain-lain), pemandangan (pantai, pegunungan, perbukitan, hutan, sungai, dan lain-lain), fauna dan flora (tanaman aneh/unik, satwa langka, cagar alam, dan lain-lain), b) hasil ciptaan manusia (man-made supply) meliputi: benda-benda bersejarah (monumen/bangunan bersejarah, sisa-sisa peradaban manusia, dan lain-lain), kebudayaan (museum, kesenian rakyat, perpustakaan, dan lain-lain), keagamaan (rumah ibadah, candi, upacara keagamaan, dan lain-lain), c) tata cara kehidupan masyarakat, merupakan atraksi yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, seperti upacara nyadar, khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya .
Dalam konteks kepariwisataan, Madura dengan kondisi potensinya yang beragam sangatlah memungkinkan untuk dijadikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), karena daya tarik wisata di Madura adalah sesuatu yang dapat dilihat, misalnya pemandangan alam, peninggalan purbakala, pertunjukan; atau sesuatu yang dapat dilakukan, misalnya rekreasi, olahraga, meneliti; atau sesuatu yang dapat dibeli, misalnya barang-barang unik atau cenderamata; atau sesuatu yang dapat dinikmati, misalnya udara sejuk bebas pencemaran, pelayanan istimewa; atau sesuatu yang dapat dimakan, misalnya makanan atau minuman khas Madura.
Kekuatan obyek dan daya tarik tersebut dapat mendorong terjadinya kegiatan kepariwisataan, bahkan dianggap sebagai energi pariwisata (tourism energy), sekaligus pemicu dan pemacu utama minat kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara atau wisatawan nusantara, seperti pesantren dengan tradisi santri-santrinya, Kerapan Sapi, Pantai Lombang/Slopeng/Camplong, tempat-tempat ziarah (Syaikhona Kholil, Asta Tinggi, Asta Yusuf, dll), Gua (Payudan dan Koneng), kesenian (Lodruk, Hadrah, dll), dan sebagainya. Modal pariwisata Madura yang seperti inilah perlu kiranya terus dikembangkan dan dikelola secara professional, selain juga tersedianya akomodasi dan fasilitas-fasilitas penunjang bagi wisatawan yang berkunjung.
Melihat segala potensi yang ada di pulau Madura, sudah tidak hayal lagi apabila saat ini Madura perlu dideklarasikan sebagai Daerah Tujuan Wisata (tourist destination), selain karena daya tarik wisatanya yang unik, khas, dan asli yang jarang ditemukan di daerah-daerah lain, juga didukung oleh rampungnya jembatan SURAMADU yang panjangnya sekitar 5.438 km. Jembatan terpanjang se-asia tenggara ini, selain menjadi obyek dan daya tarik wisata tersendiri bagi wisatawan, juga kemudahan aksesibilitas bagi kunjungan wisatawan, yang akan menjadikan Madura ke depan banyak dikunjungi wisatawan. Aksesibilitas dalam konteks Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan syarat yang terpenting sekali untuk objek wisata , bahkan sebagai prasyarat bagi keberlangsungan proses pariwisata. Peningkatan aksesibilitas berarti mempersingkat waktu dan dapat mengakibatkan jarak yang jauh seolah-olah lebih dekat.

Madura: Etalase Islamic Tourism di Era Global
Dalam perkembangannya, pertumbuhan ekonomi dan perubahan karakteristik psikografi dan demografis wisatawan di negara-negara asal menciptakan kelompok pasar dengan penghasilan tinggi dan harapan yang berbeda dalam melakukan perjalanan wisata. Apalagi perubahan ini didukung oleh atmosfir globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi, bahkan telah membawa perubahan pada hampir semua sektor, termasuk sektor pariwisata. Perubahan yang sangat menjolok dalam dunia pariwisata, yakni pertama, kecenderungan adanya standardisasi dalam pengembangan produk dan pemasaran, dan yang kedua adalah kecenderungan demassifikasi atau fragmentasi pasar .
Pandangan ini menyiratkan adanya perubahan penting dalam dunia kepariwisataan dewasa ini, yakni terjadinya pergeseran orientasi dan preferensi pasar pada pemilihan produk wisata, dari orientasi produk wisata yang konvensional (berorientasi pada destinasi dan bentuk wisata rekreasional – pleasure/escaping), ke orientasi produk khusus dan spesifik yang lebih menekankan unsur pengalaman (experience), keunikan dan kualitas (quality travel), yang lebih dikenal dengan istilah wisata minat khusus (special interest tourism).
Dalam pergeseran orientasi pasar tersebut, wisatawan baru memiliki keinginan untuk dapat melakukan dan mengatur rencana perjalanannya sendiri, memperkaya kombinasi pengalaman dan aktifitas daripada hanya sekedar mengunjungi sebuah destinasi tertentu . Selain itu, perjalanan yang dilakukan tidak lagi hanya sekedar berada di lokasi tujuan wisata tetapi menginginkan untuk berinteraksi, berpartisipasi dan belajar dari apa yang dilihat di lokasi yang dikunjungi tersebut (Pearce, 1988) . Kemudian ditambahkan oleh Weiler dan Hall (1992) bahwa wisatawan dengan minat khusus pada umumnya memiliki latar belakang intelektual yang lebih baik, memiliki pemahaman dan kepekaan yang lebih terhadap etika, moralitas dan nilai-nilai tertentu. Wisatawan jenis ini melihat bahwa perjalanan wisata seharusnya merupakan perjalanan yang aktif, pencarian pengalaman dalam rangka pengembangan diri dan bukan lagi sebagai kegiatan liburan biasa (Weiler dan Hall, 1992).
Melihat fenomena pergeseran pasar wisatawan ini sekaligus menangkap peluang ke depannya, Madura dengan segala keanekaragaman obyek dan daya tarik wisatanya, yang identik dengan Islam , ditambah dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya yang agamis dengan didukung oleh berdirinya pesantren-pesantren di berbagai pelosok, merupakan aset besar yang perlu dikelola dan dikembangkan secara islami dalam bingkai program-program kepariwisataan. Kondisi Madura yang seperti ini berpotensi untuk dijadikan sebagai Etalase Islamic Tourism, bahkan berpeluang menjadi sebuah diversifikasi Daerah Tujuan Wisata (tourist destination) yang jarang sekali wisatawan temukan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan berkunjung, disamping Madura dapat menawarkan suasana baru dan memberikan kesan tersendiri di mata wisatawan.
Islamic Tourism dalam konteks ke-Madura-an sangatlah berperan sekali di dalam mengembangkan semangat, rasa dan kesadaran keberagamaan (religousness) manusia (masyarakat dan wisatawan), bahkan mampu memberikan pemaknaan atas pariwisata sehingga tidak dipandang untuk mencari kesenangan dan kepuasaan jasmaniah semata, tetapi juga kesenangan dan kepuasan rohaniah (spiritual) yang menekankan pada ke-ESA-an Tuhan, misalnya berwisata ke pantai untuk menikmati ciptaan Tuhan (tidak lagi untuk berfoya-foya, seks, dan lain-lain) atau berwisata ziarah untuk mengingat Tuhan dan kematian. Hal ini penting untuk memposisikan pariwisata yang sebenarnya di tengah masyarakat Madura yang religius, biar interpretasi atas pariwisata tidak selalu bermuara kepada sesuatu yang menyimpang dari norma-norma agama dan haruslah disingkirkan, seperti pariwisata yang menganut ideologi kapitalis, yang dikenal dengan 4s, yakni sea, sun, sand, and sex (laut, matahari, pasir pantai, dan seks) .
Disamping itu juga, pengimplementasian Islamic Tourism ala Madura haruslah didukung oleh tradisi masyarakat Madura yang agamis, seperti sarungan dengan peci hitam/putih sebagai identitas masyarakat Madura, bahkan juga pemasangan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat strategis dengan desain yang menarik dan unik, seperti lafadz lailaha illallah, astaghfirullah, dan lain sebagainya. Nuansa dan kondisi yang seperti ini akan berdampak pada penyadaran keagamaan wisatawan dan masyarakat Madura, selain akan memberikan kesan tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Salah satu contoh apa yang terjadi di Bali, dimana ajaran-ajaran agama Hindu dielaborasi dengan budaya Bali sebagai identitas mereka, dan diperkenalkan kepada wisatawan sebagai syiar ajaran agama, bahkan tidak luput juga tarian-tarian Bali dan Pura-Pura sebagai simbol agama Hindu mudah ditemukan diberbagai sudut, yang sekaligus menjadi ciri khas pariwsata Bali. Dalam hal ini, Madura perlu kiranya mencontoh Bali atau dijadikan Bali ke dua dengan julukannya “Paradise Island” yang mampu mengangkat nilai-nilai keagamaan dalam bingkai kepariwsataan.
Islamic Tourism ala Madura merupakan pilihan yang tepat untuk arah pengembangan pariwisata Madura, meskipun pengembangannya akan mengalami berbagai kendala, termasuk salah satunya jumlah kunjungan wisatawan. Namun, hal yang demikian jangan menjadi sebuah paranoid bagi pemerintah daerah untuk terus melakukan promosi sebagai wujud komitmen pemerintah dalam pengembangan pariwisata Madura yang islami sekaligus sebagai wahana silaturrahmi dan saling mengenal antara satu dengan yang lainnya (to know each other), dengan tujuan merawat nilai-nilai khazanah agar tidak tercerabut dari hadirnya pariwsata yang bernuansakan kapitalis.
Dengan melihat persaingan global sekaligus memperhatikan kondisi masyarakat, Madura dapat memusatkan perhatian kepada pariwisata yang islami dan khusus. Inggris misalnya telah mengkhususkan diri kepada obyek warisan budaya dan obyek sejarah, sementara Swiss terkenal untuk wisata pegunungan, dan Thailand lebih kearah pengalaman eksotis. Oleh karena itu, dengan bermodalkan sumber daya yang ada di Madura dan menonjolkan keunikan daerah di dalam tautan dengan sistem ekonomi yang mendunia, suatu pengkhususan dan penglabelan perlu dilakukan agar Madura memiliki keunggulan dalam bersaing. Dan dalam hal ini, Madura sangatlah berpeluang untuk menjadi sesuatu yang berbeda dengan daerah-daerah lain, termasuk Bali, Lombok, Yogyakarta dan lain-lain.

Penutup
Untuk mewujudkan Madura sebagai Etalase Islamic Tourism bukanlah suatu hal yang mudah, dan membutuhkan proses yang sangat panjang, namun branding “Islamic Tourism” dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas sejak dini sebagai pencitraan untuk pariwisata khas Madura. Karenanya, pemerintah sebagai fasilitator sekaligus regulator secara aktif dapat melakukan kerjasama yang menguntungkan dengan pihak-pihak terkait dalam pengembangan dan promosi pariwisata Madura, dengan tidak mendiskriminasikan masyarakat sebagai unsur stakeholder yang memiliki peran penting untuk keberlangsungan kepariwisataan di Madura.
Akhirnya, dengan bahasan beberapa landasan normatif-tekstual dan empirik aktual tadi, tidak ada alasan bagi masyarakat Madura untuk bersikap pasif di dalam mengembangkan dunia kepariwisataan. Karena nilai-nilai luhur agama tidak ada yang bertentangan dengan kepariwisataan yang bersifat ideal, selagi kepariwisataan itu tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama (values of religion) dan tradisi masyarakat Madura, serta benar-benar berfungsi untuk kepentingan kesejahteraan lahiriah dan batiniah yang sehat.

Makalah ini disampaikan pada Pelatihan Pariwisata, diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Sumenep Madura, pada tanggal 21 Juni 2009 di Hotel Utami Sumenep, Madura.


DAFTAR PUSTAKA


Adji Kusworo, Hendrie. 2009. Pariwisata untuk Kesejahteraan: Meninjau Ulang Kebijakan Pembangunan. Makalah Seminar Bulanan. Tanggal 28 Mei 2009. Yogyakarta: PSKP UGM Yogyakarta.

Ahimsah Putra, dkk. 2000. Pengembangan Model Pariwisata Pedesaan sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Yogyakarta: LP Universitas Gadjah Mada.

Andang Subaharianto, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura. Malang: Bayumedia Publishing.

Fandeli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam: Yogyakarta: Fakultas Kehutanan-UGM.

Karim, Abd. 2008. Kapitalisasi Pariwisata dan Marginalisasi Masyarakat Lokal Lombok. Yogyakarta: Genta Press.

Nyoman S. Pendit. 2002. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Santoso, Oerip. 2000. Pariwisata Indonesia; Menghadapi Abad XXI. Bandung: Penerbit ITB.

Sedarmayanti. 2005. Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata. Bandung: Mandar Maju.

Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata sebagai Systemic Linkage. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepariwisataan, nomor 9 tahun 1990 telah direvisi menjadi nomor 10 tahun 2009.

Yoeti, Oka A. 1988. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.

Warpani, Suwardjoko P dan Warpani, Indira P. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.

Weiler, Betty dan Hall, C.M. 1992. Special Interest Tourism. London: Belhaven Press.

Website:

Http://www.pamekasan.info. Diakses pada tanggal 14 Juni 2009 di Yogyakarta.

Http://www.chnpress.com. Diakses pada tanggal 15 Juni 2009 di perpustakaan Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM Yogyakarta.

Http://www.budpar.go.id. Diakses pada tanggal 03 Maret 2009 di Perpustakaan Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta.

Senin, 20 Juli 2009

PARIWISATA DI SUMENEP


Sumenep-Diresmikannya jembatan suramdu beberapa waktu lalu, rupanya membuat berbagai pihak meresa perlu untuk segera berbenah. Salah satunya dilkukan oleh dinas kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga (disbudparpora) Kabupaten Sumenep. Mereka melakukan in house traning yang bertujuan untuk meningkatkan kwalitas aparat dan manajemennya.

Persaingan pasca diresmikannya jembatan suramadu diyakini akan semakin meningkat.. Siapapun yang tidak cepat berakselerasi dengan peningkatan kwalitas dan kecerdasan dalam menangkap peluang, dipastikan akan ketinggalan kereta, ini membuat pemerintah kabupaten sumenep terus berbenah diri,utamanya dalam bidang pariwisata.,melalui dinas budaya pariwisata pemuda dan olahraga ,pemerintah kabupaten sumenep menggelalar in host training ,yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan, kualitas dan mutu manajemen di pariwisata.

Peningkataan mutu dan kualitas di bidang pariwisata rupanya menimbulkan tanggapan serius dari, Ketua Masyarkat Pariwisata Indonesia (MPI) Sumenep, A. Faidlal Rahman Ali, menurutnya peningkatan wawasan dan mutu pariwisata menjadi pr bagi pemerintah dikabupaten sumenep. selain itu pemerintah sumenep diminta untuk menata potensi pariwisata yang ada ,seperti kesenian, dan batik tulis.sehingga pemerintah kabupaten sumenep utamanya dinas budaya pariwisata pemuda dan olahraga,selain harus meningkatkan potensi yang ada juga harus tanggap,dengan perkembangan budaya yang masuk di madura, dan bekerjasama dengan tiga kabupaten lainnya dimadura.ini dimaksudkan agar bisa terbentuk pariwisata islamic.ini dikarenakan madura yang dikenal dengan adanya pesantren dan tokoh masyarkat seperti kyai.

Sumber http://www.madurachannel.com/madura/lain-lain/836-pariwisata-di-sumenep.htm

Minggu, 12 Juli 2009

MENCARI SEORANG PEMIMPIN YANG PROGRESIF

Dalam hitungan bulan ke depan bangsa Indonesia akan mempertaruhkan seorang pemimpin, yang diharapkan mampu menyelematkan Indonesia dari jurang keterpurukan, dalam pemilihan umum presiden nanti. Tentu, tugas berat telah menunggu mereka yang nanti terpilih menjadi presiden RI ke-7, mulai dari persoalan politik, ekonomi, supremasi hukum, hingga masalah sosial masyarakat kontemporer yang kerap menyajikan shocked response (sikap terkejut) terhadap fenomena sosial yang tiba-tiba terjadi dan menimpa masyarakat Indonesia.
Jika mau disadari, persoalan tersebut telah membawa bangsa ini terjerumus ke dalam jurang krisis multidimensi, yang sampai saat ini masih dicari formula jalan keluarnya. Bahkan cita-cita luhur yang diteriakkan founding father ataupun para pejuang reformasi yang seringkali disuarakan oleh para elitis juga telah gagal membawa perubahan bagi masa depan bangsa Indonesia tercinta ini.
Secara historis bangsa ini sudah cukup lama merindukan pemimpin yang bisa membawa kepada kemajuan bagi rakyatnya, khususnya pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang kita kenal dengan rezim otoriter dan anti demokrasi. Pemimpin yang terbayang dalam benak bangsa Indonesia secara umum adalah dia yang jujur, adil, bersih, memiliki visi yang progresif membawa Indonesia kepada masa depan yang lebih cerah dengan tetap berpijak kepada falsafah Pancasila dan UU 45. Namun sayang, impian tersebut hanya sebatas ilusi belaka, karena sampai saat ini belum ada sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia. Rakyat malah justru dihadapkan dengan berbagai persoalan yang menjerat mereka ke jurang kemiskinan dengan diberlakukannya berbagai kebijakan yang tidak populis dan tidak berpihak kepada rakyat, seperti penggusuran, pengangguran, komersialisasi pendidikan, penegakan hukum, hingga masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang masih terbengkalai.
Persoalan tersebut telah membawa bangsa Indonesia ke arah titik nadir keputusasaan, penuh dengan ancaman konflik dan kekerasan yang lahir dengan begitu mudahnya dimana-mana. Di samping itu juga, kriminalitas semakin hari semakin memprihatinkan dan menakutkan, kantong-kantong kemiskinan semakin bertebaran dimana-mana, rakyat mengalami kelaparan dan menderita akibat tingginya harga kebutuhan pokok.
Dalam kondisi seperti di atas, peminpin yang tangguh dan dapat memberikan kepercayaan penuh bagi bangsa Indonesia tentu sangat dibutuhkan dalam masa transisi semacam ini. Jadi, yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara Indonesia adalah seorang pemimpin yang bisa menjadi suri tauladan dan bisa memberikan kesejukan bagi umat (warga) di bawahnya. Dalam konteks ini, tentu, kursi presiden bukanlah menjadi rebutan yang berorientasi kepada popularitas dan keuntungan profit yang menjabatnya semata, namun lebih luhur dari itu adalah sebuah tugas berat yang tidak sederhana, sebuah amanah dan tanggung jawab yang kelak akan dipertanyakan pertama kali di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Seiring dengan mendekatnya pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 ini, perubahan yang bisa mengantarkan nasib rakyat agar lebih sejahtera dan damai adalah impian yang semoga saja tidak kosong. Karena begitu, berjuta rakyat Indonesia di lapisan bawah belum beringsut dari nasibnya, hidup dicekam kemiskinan dan seolah tanpa harapan masa mendatang. Pemimpin yang pada awalnya berkoar-koar akan membuat perubahan di bangsa ini dan sekarang hanya tinggal kenangan semata. Masalah ini tentunya menjadi PR bagi pihak birokrasi untuk meminimalisir persoalan-persoalan yang melanda bangsa Indonesia saat ini (khususnya), dan juga kita semua sebagai penerus estafet kepemimpanan bangsa.
Masalah-masalah besar yang telah menjadi titik jenuh bagi bangsa Indonesia seperti jumlah pengangguran yang menyentuh angka 23 juta, rakyat miskin 110 juta, balita kekurangan gizi 5.400.000 jiwa, anak terlantar berjumlah 8 juta jiwa, tidak lagi menjadi masalah yang membayang-bayangi bangsa ini ke depan.
Karena sudah jelas, semuanya itu merupakan imbas dari beberapa kebijakan pemerintah yang tidak pernah menitik beratkan pada kesejahteraan rakyat (tidak pernah berpihak kepada rakyat). Begitu pula dengan kebijakan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan belum menjadi prioritas utama. Amanat konstitusi yang mewajibkan alokasi 20 % APBN/APBD untuk pendidikan sebatas dijadikan retorika belaka, atau dalam praktiknya tidak pernah kesampaian. Belum tampak kesungguhan pemerintah untuk merealisasikannya.
Menyikapi berbagai persoalan yang menyelimuti bangsa Indonesia, kita jelas membutuhkan sosok pimpinan nasional yang handal, yakni pemimpin yang mampu mengatasi aneka problem kompleks, yang paling tidak meliputi tiga aspek yakni: Pertama, aspek moral, pemimpin bangsa yang handal secara moral adalah terwujudnya keteladanan hidup yang nyata yang ada dalam perilaku hidup seorang pemimpin. Bila pemimpin tidak bisa menjadi sumber keteladanan hidup bagi rakyatnya, maka kehidupan rakyat akan mengalami kekacauan yang kompleks, standar nilai-nilai moralitas tidak jelas, baik dan buruk ditentukan oleh permainan kekuasaan.
Kedua, aspek intelektual, pemimpin bangsa yang handal secara intelektual adalah kemampuan seorang pemimpin merumuskan dengan jelas masa depan kehidupan bangsa yang ideal yang hendak dicapai. Kemampuan dalam aspek intelektual seorang pemimpin amat diperlukan guna menghadapi tantangan dan perubahan yang akan selalu muncul dalam setiap tahap perkembangan kehidupan bangsanya. Selain itu, di saat-saat sulit, aspek kemampuan intelektual seorang pemimpin segera dapat mencerahkan bangsanya karena kemampuannya melihat persoalan secara jernih sehingga dapat menemukan jalan keluarnya secara cerdas. Tidak gemar berkeluh kesah dan menyalahkan orang lain apalagi menyudutkannya. Kecerdasannya dapat menuntun untuk bersikap arif dan bijaksana sehingga menyejukkan kehidupan rakyatnya.
Ketiga, aspek manajerial, pemimpin yang handal secara manajerial adalah kemampuan pemimpin mengaktualisasikan gagasannya dalam realitas kehidupan secara nyata, tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu mewujudkan apa yang dikatakan menjadi kenyataan. Satunya kata dengan perbuatan. Seorang pemimpin tidak hanya pandai mengorganisasi gagasannya secara efektif, tetapi juga dapat membangun sistem jaringan kerja sama yang produktif. Seorang pemimpin harus mampu membangun sistem manajemen yang baik dan sehat sehingga siapapun yang masuk sistem itu, dengan sendirinya akan bekerja dengan baik, dinamis, dan produktif untuk kepentingan rakyat yang lebih besar, bukan sebaliknya. NKRI akan dirundung malang jika kepemimpinan bangsa amat lemah, baik dalam aspek moral, intelektual, maupun manajerial.

MASIFITAS PELAYANAN BAGI WISATAWAN MANCANEGARA

Nama Yogyakarta sudah tidak asing lagi di telinga para wisatawan baik wisatawan nusantara (wisnu) atau wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Kota yang dikenal dengan segudang predikat ini—sebagai kota budaya, pendidikan, dan kota sejarah—telah memberikan nuansa yang berbeda bagi para wisatawan sehingga mereka tidak bisa melewatkan perjalanannya sebelum berkunjung ke kota Gudeg.
Kondisi di atas semakin mendapatkan justifikasi ketika akhir tahun 2008 Majalah Libur, salah satu majalah turisme terkemuka Malaysia, menobatkan Yogja sebagai Destinasi Wisata Terbaik Luar Negeri atau Tempat Tujuan Wisata Luar Negeri terbaik bagi masyarakat Malaysia dalam acara Malam Anugerah Insan Pariwisata di Kuala Lumpur, Malaysia. Terpilihnya DIY ini berdasarkan pada jajak pendapat (polling) responden majalah Libur, dari 160.000 responden, 60 persen di antaranya memilih DIY sebagai tempat tujuan wisata favorit.
Bahkan sejak dibukanya jalur penerbangan Kuala Lumpur-Yogyakarta oleh Malaysia Airlines dan Air Asia pada awal 2008, kunjungan wisatawan dari Malaysia meningkat pesat sehingga selama tahun 2008 sampai bulan September 2008 kemarin, telah tercatat 13.115 wisatawan Malaysia. Dari data itu berarti kunjungan wisatawan Malaysia ke Yogyakarta meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Penghargaan yang diterima oleh pemerintah DIY ini perlu diapresiasi secara serius dari semua elemen masyarakat terutama masyarakat DIY sebagai titik tolak akan tumbuh kembangnya dunia pariwisata. Bahkan prestasi cemerlang ini merupakan hasil dari kerja keras pemerintah dengan segenap jajarannya baik yang ada di tingkat propinsi atau di tingkat kota/kabupaten, serta para stakeholders. Keberhasilan ini setidaknya harus dapat dijadikan contoh bagi propinsi-propinsi lain di Indonesia untuk pengelolaan dan pengembangan prospek pariwisata ke depan.
Sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di pulau jawa, DIY memiliki banyak objek wisata yang menarik, seperti candi, Gunung Merapi, Museum, Pusat Belanja, Kraton, Atraksi Budaya, dan lain sebagainya.
Potensi objek wisata di Yogyakarta tidak bisa lepas dari aspek pelayanan (service) yang menjadi satu-satunya unsur kepuasan bagi wisatawan. Kunjungan wisatawan ke objek-objek wisata harus mendapatkan pelayanan yang prima dari para pelaku industri pariwisata sehingga wisatawan merasakan kepuasan yang bisa memberikan efek domino bagi objek wisata tersebut.
Ironisnya, kita kerap menemukan banyak masalah serius di sektor pelayanan ini. Berdasakan pengamatan saya, sepertinya ada sesuatu yang janggal di saat kita berkunjung ke suatu objek wisata, dan ini acapkali terabaikan bahkan terkadang dianggap sepele, yaitu lebih mahalnya tiket masuk wisman daripada wisnus yang tanpa dibarengi additional service. Masalah ini tidak sekedar terjadi di objek-objek wisata di DIY, tetapi juga hampir di objek-objek wisata di Indonesia. Penetapan tarif masuk yang lebih mahal ini pada dasarnya lebih bermuara pada alasan wisman lebih kaya dari wisnus dengan uang dollar yang menggiurkan, subsidi silang, dan retribusi daerah. Salah satu contoh, apa yang terjadi di objek wisata Candi Prambanan, di mana tiket masuk wisman 11 USD (sekitar Rp. 115.500 dengan kurs 10.500 per USD),- dan wisnus Rp. 12.500,-.
Namun sayang, dibalik lebih mahalnya tiket tersebut, pihak pengelola atau pelaku industri pariwisata tidak memiliki inisiatif untuk memberikan pelayanan tambahan (additional service) dan membedakan pelayanan yang diberikan kepada wisman daripada wisnus. Setidaknya, para pengelola objek wisata (pemerintah/swasta) lebih peka melihat persoalan ini, dan tidak semata melakukan penetapan tarif yang lebih mahal untuk kepentingan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah bagaimana pengelola mampu memenuhi kepuasan wisman melalui harga tiket yang lebih mahal dengan menambah pelayanan yang lebih bagi wisman, seperti memberikan CD Film, Stiker, payung, dll, dan masih banyak lagi cara-cara yang kreatif yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola.
Masalah ini sepertinya tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pihak pengelola objek wisata, karena wisman akan menilai kualitas pelayanan yang diberikan. Dan apabila additional service ini bisa terrealisasikan, maka ini merupakan suatu unik dalam pelayanan dan akan menjadi daya tarik sendiri di kaca mata wisman.
Masalah ini sebenarnya pernah saya usulkan ke Baparda DIY dalam Workshop Koordinasi Pembangunan Objek-Objek Kepariwisataan di DIY, pada tanggal 8 Juli 2008 di Hotel Saphir Yogyakarta. Namun usulan tersebut hanya sebatas wacana, dan tidak ada tindak lanjutnya hingga saat ini. Baparda DIY sebagai regulator dan fasilitator semestinya ikut andil memikirkan hal ini secara serius dan bijaksana demi terwujudnya pelayanan yang prima dan memberikan kesan yang positif.
Yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bahwa kualitas pelayanan merupakan tolak ukur terciptanya kepuasan wisatawan. Karena itu, pihak pengelola dituntut untuk bertindak kreatif dan innovatif, mulai dari menyapa wisatawan, fasilitas yang tersedia, dan atraksi wisata yang disuguhkan. Pelayanan yang nyaman dan tepat adalah dambaan semua wisatawan yang berkunjung.

Minggu, 15 Maret 2009

MENIMBANG PROSPEK DESA WISATA

Pada dasawarsa terakhir, dunia pariwisata mengalami pertumbuhan yang terus meningkat pesat. Tempat-tempat yang berpotensi mengundang banyak kunjungan wisatawan dibangun di sana sini dan didesain sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhan hasrat manusia modern. Kondisi ini dibarengi dengan peningkatan konsumsi komoditas wisatawan dan kemajuan di bidang tekhnologi, terutama transportasi dan informasi, yang mendorong perkembangan kepariwisataan menjadi fenomena global. Bahkan banyak negara di dunia mengandalkan kemajuan pembangunan nasional pada sektor pariwisata, termasuk Indonesia.

Fenomena ini tentu sangat berimplikasi terhadap adanya pergeseran orientasi dan preferensi pasar pada pemilihan produk wisata. Promosi produk wisata semakin mudah ditemukan dengan nuansa baru dan desain the newest yang terus berkompetisi demi memberikan ruang kenyamanan bagi wahana rehat. Akhirnya produk wisata konvensional saat ini mulai banyak ditinggalkan dan beralih kepada produk wisata yang mempunyai nuansa khas yang mengedepankan unsur pengalaman dan profesionalitas, keunikan dan kualitas (uniqueness and quality) servis.

Pandangan ini mampu mendorong menjamurnya desa-desa wisata (tourism village) di berbagai provinsi di Indonesia. Tourism village sebagaimana dikemukan oleh Nuryanti (1993:2-3) adalah suatu bentuk integritas antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata memliki dua komponen utama: pertama akomodasi, yaitu sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk. Kedua atraksi, yaitu seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, dan bahasa.

Animo wisatawan untuk berkunjung ke objek wisata jenis ini semakin bertambah dari tahun ke tahun. Bukanlah suatu yang mustahil apabila pemerintah yang dalam hal ini Departemen kebudayaayan dan Pariwisata pada tahun 2009 harus cepat tanggap mengembangkan desa wisata di berbagai propinsi di tanah air. Pengembangan desa wisata ini sebagai bagian dari upaya membangun komunitas pariwisata yang berbasis pada masyarakat (community based tourism).

DI Yogyakarta sebagai destinasi yang cukup popular nampaknya juga tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan moment potensial ini. Terbukti, dalam empat tahun terakhir, makin banyak desa wisata yang tumbuh berkembang di DIY dengan konsep yang sangat bervariasi, tergantung pada potensi yang dimilikinya. Bahkan sampai saat ini telah tercatat kurang lebih 48 desa wisata yang tersebar di wilayah DIY, seperti: Desa Wisata Kembang Arum (Sleman), Desa Wisata Banjarsari (Kulon Progo), Desa Wisata Panjangrejo (Bantul), dan lain-lain. Selain jumlahnya terus meningkat, variasi potensi desa yang memenuhi kreteria asli lokal, unik dan indah sebagai desa wisata pun makin beragam. Selain itu, faktor pendukungnya, yakni desa harus memiliki tradisi dan budaya yang relatif asli, makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting bagi desa sebagai sebuah kawasan tujuan wisata.

Nilai Manfaat

Berkembangnya wisata minat khusus (special interest tourism) sebagai bentuk peralihan dari wisata massal (mass tourism) memberikan peluang besar bagi desa wisata. Perkembangan desa wisata yang terus mengalami peningkatan ini sebagai akibat dari tuntutan pasar wisatawan sekaligus potensi-potensi yang dimiliki. Sudah tidak dapat disangkal lagi, apabila desa wisata akan semakin berkembang. Karena suasana desa mampu menawarkan nuansa yang berbeda, sunyi dan damai, ditambah dengan berleburnya wisatawan dengan masyarakat sekitar dengan segala aktivitasnya. Hal ini akan memberikan nilai manfaat yang berupa pengetahuan dan pengalaman baru. Pengalaman yang berkualitas akan diperoleh melalui keterlibatan aktif wisatawan baik secara fisik, mental atau emosional terhadap objek-objek atau kegiatan wisata yang diikutinya.

Melihat nilai-nilai potensial pada desa wisata ini, mau tidak mau, akan mendorong minat dan motivasi wisatawan untuk berkunjung. Selain itu, desa wisata saat ini berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditas apalagi ditunjang dengan meningkatnya gairah wisatawan asing yang terus menyerbu tempat-tempat pariwisata kita, dimana kebutuhan dalam melakukan perjalanan wisata merupakan kegiatan yang penting untuk menghilangkan kejenuhan dan mencari kesenangan. Fenomena di atas didukung oleh ramalan World Tourism Organization (WTO) yang mengatakan jumlah kunjungan wisatawan global akan meningkat menjadi 1.018 juta orang dengan perolehan devisa sebesar US$ 3,4 triliun, investasi pariwisata dunia sebesar 10,7 persen permodalan pada tahun 2010 nanti.

Prospek desa wisata yang mulai menjamur khususnya di Yogyakarta akan memberikan penambahan devisa yang potensial bagi pendapatan daerah. Di samping itu, pengenalan tradisi lokal akan menjadi prioritas yang harus dipersiapkan oleh pemerintah ataupun pihak-pihak yang kompeten dalam mendukung proyek yang mempunyai masa depan bisnis yang cerah ini. Karena sudah jelas, daerah tujuan wisata unggulan (tourism destination) yang kerap menjadi pilihan para wisatawan dewasa ini, tidak bisa dilepaskan dengan potensi alam dengan kekhasan tradisi di daerah masing-masing. Dalam konteks ini, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota warisan budaya akan menjadi salah satu tempat favorit bagi para wisatawan baik lokal ataupun manca dalam menghabiskan waktu senggang.

Di samping itu, kesiapan pihak-pihak pengelola dan masyarakat setempat, sebagai komponen utama yang menjadi objek wisata, harus benar-benar diperhatikan. Karena tanpa adanya kesiapan dari pihak-pihak yang terlibat dalam ‘proyek’ ini, masa depan desa wisata justru akan menjadi boomerang bagi penduduk setempat. Sikap waspada semacam ini perlu ditumbuhkan sebelum cengkraman eksploitasi pasar (pariwisata), yang akhirnya bermuara kepada kepentingan komoditas semata, menjadi jalan pragmatis yang dilalui demi melego tradisi dan potensi lokal menjadi profit.