Nama Yogyakarta sudah tidak asing lagi di telinga para wisatawan baik wisatawan nusantara (wisnu) atau wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Kota yang dikenal dengan segudang predikat ini—sebagai kota budaya, pendidikan, dan kota sejarah—telah memberikan nuansa yang berbeda bagi para wisatawan sehingga mereka tidak bisa melewatkan perjalanannya sebelum berkunjung ke kota Gudeg.
Kondisi di atas semakin mendapatkan justifikasi ketika akhir tahun 2008 Majalah Libur, salah satu majalah turisme terkemuka Malaysia, menobatkan Yogja sebagai Destinasi Wisata Terbaik Luar Negeri atau Tempat Tujuan Wisata Luar Negeri terbaik bagi masyarakat Malaysia dalam acara Malam Anugerah Insan Pariwisata di Kuala Lumpur, Malaysia. Terpilihnya DIY ini berdasarkan pada jajak pendapat (polling) responden majalah Libur, dari 160.000 responden, 60 persen di antaranya memilih DIY sebagai tempat tujuan wisata favorit.
Bahkan sejak dibukanya jalur penerbangan Kuala Lumpur-Yogyakarta oleh Malaysia Airlines dan Air Asia pada awal 2008, kunjungan wisatawan dari Malaysia meningkat pesat sehingga selama tahun 2008 sampai bulan September 2008 kemarin, telah tercatat 13.115 wisatawan Malaysia. Dari data itu berarti kunjungan wisatawan Malaysia ke Yogyakarta meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Penghargaan yang diterima oleh pemerintah DIY ini perlu diapresiasi secara serius dari semua elemen masyarakat terutama masyarakat DIY sebagai titik tolak akan tumbuh kembangnya dunia pariwisata. Bahkan prestasi cemerlang ini merupakan hasil dari kerja keras pemerintah dengan segenap jajarannya baik yang ada di tingkat propinsi atau di tingkat kota/kabupaten, serta para stakeholders. Keberhasilan ini setidaknya harus dapat dijadikan contoh bagi propinsi-propinsi lain di Indonesia untuk pengelolaan dan pengembangan prospek pariwisata ke depan.
Sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di pulau jawa, DIY memiliki banyak objek wisata yang menarik, seperti candi, Gunung Merapi, Museum, Pusat Belanja, Kraton, Atraksi Budaya, dan lain sebagainya.
Potensi objek wisata di Yogyakarta tidak bisa lepas dari aspek pelayanan (service) yang menjadi satu-satunya unsur kepuasan bagi wisatawan. Kunjungan wisatawan ke objek-objek wisata harus mendapatkan pelayanan yang prima dari para pelaku industri pariwisata sehingga wisatawan merasakan kepuasan yang bisa memberikan efek domino bagi objek wisata tersebut.
Ironisnya, kita kerap menemukan banyak masalah serius di sektor pelayanan ini. Berdasakan pengamatan saya, sepertinya ada sesuatu yang janggal di saat kita berkunjung ke suatu objek wisata, dan ini acapkali terabaikan bahkan terkadang dianggap sepele, yaitu lebih mahalnya tiket masuk wisman daripada wisnus yang tanpa dibarengi additional service. Masalah ini tidak sekedar terjadi di objek-objek wisata di DIY, tetapi juga hampir di objek-objek wisata di Indonesia. Penetapan tarif masuk yang lebih mahal ini pada dasarnya lebih bermuara pada alasan wisman lebih kaya dari wisnus dengan uang dollar yang menggiurkan, subsidi silang, dan retribusi daerah. Salah satu contoh, apa yang terjadi di objek wisata Candi Prambanan, di mana tiket masuk wisman 11 USD (sekitar Rp. 115.500 dengan kurs 10.500 per USD),- dan wisnus Rp. 12.500,-.
Namun sayang, dibalik lebih mahalnya tiket tersebut, pihak pengelola atau pelaku industri pariwisata tidak memiliki inisiatif untuk memberikan pelayanan tambahan (additional service) dan membedakan pelayanan yang diberikan kepada wisman daripada wisnus. Setidaknya, para pengelola objek wisata (pemerintah/swasta) lebih peka melihat persoalan ini, dan tidak semata melakukan penetapan tarif yang lebih mahal untuk kepentingan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah bagaimana pengelola mampu memenuhi kepuasan wisman melalui harga tiket yang lebih mahal dengan menambah pelayanan yang lebih bagi wisman, seperti memberikan CD Film, Stiker, payung, dll, dan masih banyak lagi cara-cara yang kreatif yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola.
Masalah ini sepertinya tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pihak pengelola objek wisata, karena wisman akan menilai kualitas pelayanan yang diberikan. Dan apabila additional service ini bisa terrealisasikan, maka ini merupakan suatu unik dalam pelayanan dan akan menjadi daya tarik sendiri di kaca mata wisman.
Masalah ini sebenarnya pernah saya usulkan ke Baparda DIY dalam Workshop Koordinasi Pembangunan Objek-Objek Kepariwisataan di DIY, pada tanggal 8 Juli 2008 di Hotel Saphir Yogyakarta. Namun usulan tersebut hanya sebatas wacana, dan tidak ada tindak lanjutnya hingga saat ini. Baparda DIY sebagai regulator dan fasilitator semestinya ikut andil memikirkan hal ini secara serius dan bijaksana demi terwujudnya pelayanan yang prima dan memberikan kesan yang positif.
Yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bahwa kualitas pelayanan merupakan tolak ukur terciptanya kepuasan wisatawan. Karena itu, pihak pengelola dituntut untuk bertindak kreatif dan innovatif, mulai dari menyapa wisatawan, fasilitas yang tersedia, dan atraksi wisata yang disuguhkan. Pelayanan yang nyaman dan tepat adalah dambaan semua wisatawan yang berkunjung.
Kondisi di atas semakin mendapatkan justifikasi ketika akhir tahun 2008 Majalah Libur, salah satu majalah turisme terkemuka Malaysia, menobatkan Yogja sebagai Destinasi Wisata Terbaik Luar Negeri atau Tempat Tujuan Wisata Luar Negeri terbaik bagi masyarakat Malaysia dalam acara Malam Anugerah Insan Pariwisata di Kuala Lumpur, Malaysia. Terpilihnya DIY ini berdasarkan pada jajak pendapat (polling) responden majalah Libur, dari 160.000 responden, 60 persen di antaranya memilih DIY sebagai tempat tujuan wisata favorit.
Bahkan sejak dibukanya jalur penerbangan Kuala Lumpur-Yogyakarta oleh Malaysia Airlines dan Air Asia pada awal 2008, kunjungan wisatawan dari Malaysia meningkat pesat sehingga selama tahun 2008 sampai bulan September 2008 kemarin, telah tercatat 13.115 wisatawan Malaysia. Dari data itu berarti kunjungan wisatawan Malaysia ke Yogyakarta meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Penghargaan yang diterima oleh pemerintah DIY ini perlu diapresiasi secara serius dari semua elemen masyarakat terutama masyarakat DIY sebagai titik tolak akan tumbuh kembangnya dunia pariwisata. Bahkan prestasi cemerlang ini merupakan hasil dari kerja keras pemerintah dengan segenap jajarannya baik yang ada di tingkat propinsi atau di tingkat kota/kabupaten, serta para stakeholders. Keberhasilan ini setidaknya harus dapat dijadikan contoh bagi propinsi-propinsi lain di Indonesia untuk pengelolaan dan pengembangan prospek pariwisata ke depan.
Sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di pulau jawa, DIY memiliki banyak objek wisata yang menarik, seperti candi, Gunung Merapi, Museum, Pusat Belanja, Kraton, Atraksi Budaya, dan lain sebagainya.
Potensi objek wisata di Yogyakarta tidak bisa lepas dari aspek pelayanan (service) yang menjadi satu-satunya unsur kepuasan bagi wisatawan. Kunjungan wisatawan ke objek-objek wisata harus mendapatkan pelayanan yang prima dari para pelaku industri pariwisata sehingga wisatawan merasakan kepuasan yang bisa memberikan efek domino bagi objek wisata tersebut.
Ironisnya, kita kerap menemukan banyak masalah serius di sektor pelayanan ini. Berdasakan pengamatan saya, sepertinya ada sesuatu yang janggal di saat kita berkunjung ke suatu objek wisata, dan ini acapkali terabaikan bahkan terkadang dianggap sepele, yaitu lebih mahalnya tiket masuk wisman daripada wisnus yang tanpa dibarengi additional service. Masalah ini tidak sekedar terjadi di objek-objek wisata di DIY, tetapi juga hampir di objek-objek wisata di Indonesia. Penetapan tarif masuk yang lebih mahal ini pada dasarnya lebih bermuara pada alasan wisman lebih kaya dari wisnus dengan uang dollar yang menggiurkan, subsidi silang, dan retribusi daerah. Salah satu contoh, apa yang terjadi di objek wisata Candi Prambanan, di mana tiket masuk wisman 11 USD (sekitar Rp. 115.500 dengan kurs 10.500 per USD),- dan wisnus Rp. 12.500,-.
Namun sayang, dibalik lebih mahalnya tiket tersebut, pihak pengelola atau pelaku industri pariwisata tidak memiliki inisiatif untuk memberikan pelayanan tambahan (additional service) dan membedakan pelayanan yang diberikan kepada wisman daripada wisnus. Setidaknya, para pengelola objek wisata (pemerintah/swasta) lebih peka melihat persoalan ini, dan tidak semata melakukan penetapan tarif yang lebih mahal untuk kepentingan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah bagaimana pengelola mampu memenuhi kepuasan wisman melalui harga tiket yang lebih mahal dengan menambah pelayanan yang lebih bagi wisman, seperti memberikan CD Film, Stiker, payung, dll, dan masih banyak lagi cara-cara yang kreatif yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola.
Masalah ini sepertinya tidak boleh diabaikan begitu saja oleh pihak pengelola objek wisata, karena wisman akan menilai kualitas pelayanan yang diberikan. Dan apabila additional service ini bisa terrealisasikan, maka ini merupakan suatu unik dalam pelayanan dan akan menjadi daya tarik sendiri di kaca mata wisman.
Masalah ini sebenarnya pernah saya usulkan ke Baparda DIY dalam Workshop Koordinasi Pembangunan Objek-Objek Kepariwisataan di DIY, pada tanggal 8 Juli 2008 di Hotel Saphir Yogyakarta. Namun usulan tersebut hanya sebatas wacana, dan tidak ada tindak lanjutnya hingga saat ini. Baparda DIY sebagai regulator dan fasilitator semestinya ikut andil memikirkan hal ini secara serius dan bijaksana demi terwujudnya pelayanan yang prima dan memberikan kesan yang positif.
Yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bahwa kualitas pelayanan merupakan tolak ukur terciptanya kepuasan wisatawan. Karena itu, pihak pengelola dituntut untuk bertindak kreatif dan innovatif, mulai dari menyapa wisatawan, fasilitas yang tersedia, dan atraksi wisata yang disuguhkan. Pelayanan yang nyaman dan tepat adalah dambaan semua wisatawan yang berkunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar